My Books

My Books
Araska Publisher, 2014. Ellunar, 2014, 2015, 2015.
I LOVE KAMPUS FIKSI - #KAMPUSFIKSI12
Cerpen KF12-Penggadai Masa Depan

Cerpen KF12-Penggadai Masa Depan

Penggadai Masa Depan
(Alfy Maghfira)
Resna Tresna tertunduk, memandangi seragam putih abu-abu yang membalut tubuhnya dengan tatapan putus asa. Rambutnya yang hitam legam terkibar dimainkan oleh angin usil di sekitarnya. Tampaknya sebuah kesedihan sukses membuatkan parit-parit kecil yang melandai pipinya. Dia mendongak, menatap langit seolah bertanya : Tuhan, aku lelah meneruskan jalan ini.
            Tak hanya suara angin yang mengisi telinganya, tapi suara sesenggukan isak tangisnya pun terdengar, memadu kekalutan yang menimpa hati.
            “Nilaimu selama hampir satu tahun ini, selalu jatuh di angka merah. Bahkan guru-guru yang mengajarmu kewalahan, Resna. Bapak sudah berkali-kali memanggilmu dan menanyakan apa kendala belajarmu? Jika seperti ini terus, kamu terancam ‘tidak naik’ kelas, Nak.”
            Kabar buruk dari Pak Reza siang ini, sukses membua pahatan kesedihan dan kedilemaan di hati Resna.
“Persetan!!” Kaki jenjang yang masih terbungkus sepatu bertali itu menendang sebuah tong sampah yang bertengger di sudut lapangan hijau. Seolah benda mati itu tersenyum dan membisik ‘Buang saja impianmu ke sini!”
***
“Lu... gak masuk... sekolah, Res?” Pria yang hanya mengenakan kaus biru belel dengan simbol ‘playboy’ di dada, tengah berdiri di depan Resna. Napasnya terdengar memburu, lengkap dengan wajahnya yang mengernyit menahan sesak.
            “Gue mau keluar, Rio,” jawab Resna ringan. Suaranya berpadu dengan kebisingan lalu lintas jalan raya di sekitar alun-alun Kota Tasikmalaya yang berhadapan dengan gedung khas Joglo bertuliskan ‘Pendopo’. Punggungnya yang terlihat masih terbebani sebuah ransel merek ‘Import’, disandarkan ke bibir pagar tembok alun-alun.
            Sebagian alis tebal Rio terangkat, penuh tanda tanya. “Keluar? Emang kenapa?”
            “Gue males. Lagian buat apa gue sekolah kalau gue malah gak naik kelas? Kampret banget tuh guru! Gak ada kebijakan banget buat muridnya. Malah sok ikut campur masalah pribadi gue lagi!” Sepasang matanya diedarkan ke salah satu sepasang siswa berseragam biru dongker yang terlihat bergelayut mesra tengah duduk di  bangku panjang yang berada di alun-alun tersebut. Resna tersenyum kecut, dia sama saja dengan mereka yang duduk di sana.
            Rio tertawa renyah, menertawakan prinsip yang selama ini menjadi genggaman Resna. Tangannya yang berdebu mendarat di bahu gadis yang sudah dipacarinya selama hampir 3 tahun ini.
            Tawa menyebalkan itu hanya menjadi melodi basi di telinga Resna. Untuk hari ini, batin Resna mulai membenarkan ‘tawa’ yang dulu sering membuatnya ‘kesal’. Sepintas Resna mengamati postur tubuh Rio. Seolah menerawang apa yang terjadi jika dia hidup bersama pria yang terlihat  lusuh, rambutnya gondrong berantakan, kerjaannya nongkrong di alun-alun kota yang memiliki tugu pahlawan sedang mengibarkan bendera di atas kuda.
            “Gue mau kita kawin,” celetuknya tanpa berpikir panjang. Yeah, pikirnya, untuk apa lagi dia bergulat dengan buku? Demi status lulus ‘SMA’? Toh, pada akhirnya wanita hanya akan berakhir di dapur saja.
            “Udah gue bilang apa! Mending lu keluar dari dulu juga. Ngapain sekolah. Buang duit, tahu!” Rio tak ubah seperti setan yang terus berbisik dan membenarkan semua pendapat Resna. “Ntar, deh. Gue urus keperluannya. Gak usah rame-ramean, cukup ke KUA aja. Lu tinggal ngomong doang sama orangtua lu,” lanjutnya terdengar ringan.
***
Sepasang mata tajam yang bersemayam di wajah penuh guratan-guratan senja, meluncur buas pada Resna. Kumis serabutnya yang bertengger di tepi bibir mulai terangkat, seiring dengan emosinya yang ikut melonjak, hebat! “APA?!! KAWIN?!” Pak Saryo yang tak lain bapak kandung Resna terlihat menggelengkan kepala ketika mulut putri sulungnya melontarkan ‘keinginan terlarang’.
            “Ya, aku mau nikah, Pak! Resna udah capek!”
            “GAK BISA!! SEKOLAH YANG BENER!! LAGIAN SIAPA YANG MAU KAWIN SAMA KAMU, HAH?!” Nada suara Pak Saryo semakin beroktaf-oktaf, tak kuasa menahan emosinya yang kian meradang.
            “Pak, Resna udah gak bisa mikir lagi. Otak Resna itu udah tumpul gara-gara kebanyakan mikir tentang perceraian Bapak sama Ibu!” Kali ini Resna tak mau kalah, suaranya ikut meninggi.
            “Tap—“
            “Resna mau nikah sama Rio!” Sukses sudah gadis berponi itu memotong ucapan bapaknya.
            Dan nama ‘Rio’ juga sukses membuat perasaan Pak Saryo terhantam, sakit. “Lelaki tak jelas itu? Perempuan mana yang mau kawin sama dia, Resna! Kamu punya akal sehat, apa enggak, sih, Nak?” Suara Pak Saryo mulai melemah, bola matanya terlihat menumpuk embun di pelupuknya—membayangkan bagaimana masa depan putrinya dengan lelaki tak jelas itu.
***
Ini adalah bulan ke-3 sejak pernikahan Resna dan Rio dilangsungkan. Gadis itu benar-benar menggadaikan mimpi yang pernah ditenunnya sejak SD. Mimpi untuk menjadi seorang guru. Tapi memang kehidupan akan selalu ada angin yang membelokkan perahu mimpinya ke arah yang entah itu benar atau tidak.
            Resna gadis yang cukup keras kepala. Tekadnya yang membatu sukses menumbuk larangan keras bapaknya dan terpaksa menyetujui keinginan Resna yaitu menikah muda dan harus putus sekolah. Bapak mana yang tak khawatir anaknya tidak pulang 3 hari? Hanya karena tak diijinkan menikah? Yah, dengan doa restu terbalut air mata kesedihan, Pak Saryo harus rela menitipkan putrinya pada Rio, lelaki yang terlihat buruk di matanya.
***
“Dari mana saja lu?!” Resna memergoki suaminya pulang tengah malam. Gadis itu berdiri di bawah lampu kuning 5 watt. Tangannya tersilang, hidungnya mengernyit—mengendus sebuah aroma yang menusuk penciumannya. “ Lu mabuk lagi?!”
            “Ka-kamprett! Punya bini mu-mulutnya rombeng banget!!” Rio meracau sambil mengentakkan kakinya yang terbalut sandal jepit mendekati Resna.
            “Rio, lu itu suami gue! Lu gak malu apa, hidup lu cuma nongkrong dan gak mikirin bini lu di rumah mau makan apa besok?!”
Brakk!
 Bangku plastik yang berada di depan, Resna tendang dan menghantam betis Rio cukup keras. Bola mata Rio membulat, dan menusuk tatapan Resna. “Cewek kurang ajar!!!” Tak kuat menahan emosinya yang kian mendidih hingga ubun-ubun kepalanya, spontan Rio melayangkan tinju di rahang istrinya.
Blukk!
            “RIO!!! TEGA KAMU, YA!! GUE NYESEL KAWIN SAMA LU!!” teriak Resna lengkap dengan air mata yang menyeruak dari ekor matanya. Ngilu, panas, perih! Kini bersemayam meninggalkan semu merah di rahangnya.
            “Hahaha.... emang siapa juga yang mau kawin sama cewek jelek kayak lu, hah?! Mulai detik ini, gue talak lu!!!”
            Talak? Talak? Oh, Tuhan... perkataan itu terasa menghantam hati Resna menjadi butiran debu, hancur, lebur! Kaki Resna limbung, tapi dengan kesadarannya Resna masih mampu menopang keseimbangannya dengan tangan tertahan di laci kecil di sampingnya. Resna mendongak, memamerkan embun pedih yang membanjiri ruang di pipinya pada Rio. “Gue nyesel... gue nyesel....”
***
“Hei!” seru sebuah suara feminim yang muncul dari depan tubuh Resna.
            “Risna?” Kepala Resna mendongak menatap wajah yang terbingkai rambut potongan di-bob.
            “Ya, ampun, Res. Lu di sini rupanya?” Tubuh jangkung Risna yang semampai tampak terbalut seragam cokelat tua dengan berbagai title pangkat di bahu, lengan dan dadanya.
            “Ris, lu jadi Polwan?” Mata Resna membulat, takjub dengan penampilan teman sebangkunya yang sudah hampir 4 tahun ini tak bersua.
            Dengan santai Risna meraih sebuah serabi hangat yang terjaja di atas baki kayu. Dia tersenyum lalu menggigit kecil serabi itu. “Enak juga serabi lu.”
            Pipi Resna bersemu merah, malu... malu akan masa yang kini dijejaknya. Wajahnya tertunduk, merutuki kobodohannya di masa lalu. Aku sadar... tak seharusnya kugadaikan masa depanku karena sebuah masalah. Melarikan diri dari masalah membuat masa depanku tak secerah apa yang dulu kuimpikan. Seandainya saja... aku lebih gigih lagi mengatasi kepelikanku. Mungkin aku takkan pernah menyandang gelar ‘janda’ saat ini, tapi mungkin aku sudah bergelar ‘sarjana’.
           #Nulis3Jam di Kampus Fiksi 12, Yogyakarta

           

           
           









Cerpen-Kata Para Semut

Cerpen-Kata Para Semut

Kata Para Semut
(Alfy Maghfira)
Dinding toilet rumah ini warna hijaunya sudah mulai pudar. Sementara kaki runcing kami tetap mencakar tembok  lembap ini. Kami adalah makhluk yang kooperatif, tak memiliki keculasan seperti manusia. Lihatlah kami yang memiliki jiwa berbagi dan bergotong royong memboyong remah-remah yang selalu manusia remehkan di setiap gigitan rezekinya.
          Tap... tap... tap....
          Di saat kami berjalan begitu tenang ditemani tetesan air keran yang tertahan di ember besar yang dasarnya sudah berlumut, tiba-tiba ada suara anak perempuan mengganggu aktivitas kami.
          “Lihat! Anak perempuan itu? Menyedihkan sekali, bukan?” Semut yang berada di belakangku berseloroh.
          Sambil berjalan lamat-lamat, kami memerhatikan anak perempuan berambut tergerai, badan mungilnya terbalut kaus putih bertuliskan ‘sweetest’ sedang berjongkok di balik pintu toilet yang sudah hampir lapuk digerogoti rayap-rayap. “Kenapa dia menangis seperti itu? Aduh! Rasanya telingaku sakit sekali dengan suara teriakan kasar dari rumah ini!” Aku bertanya dan tiba-tiba saja telingaku terasa berdengung mendengar suara yang beroktaf-oktaf yang sarat dengan emosi meletup-letup.
          “Apa kau tak mengerti juga dengan teriakan dua orang berbeda jenis kelamin di rumah ini? Jika kau jadi anak perempuan itu apa kau akan menangisinya?” Semut di belakangku masih terus melontarkan pertanyaan yang tentu saja membuatku tidak mengerti. Sementara semut-semut lain mulai tersenyum sembari memboyong remah-remah ikan bandeng yang berhasil kami keruk di balik lemari dapur.
          “Memangnya siapa mereka? Dan kenapa aku harus menangisi kedua orang yang sedang beradu mulut itu?”
          “Kau semut baru di rumah ini. Sudah sepatutnya kau mengetahuinya,” katanya tanpa berniat berpindah posisi ke sampingku. Kami para semut memang memiliki komitmen untuk terus berjalan pada formasi dan alurnya.
          “Coba beritahu aku, apa yang kau tahu dari manusia di rumah ini?”
          Remah-remah ikan bandeng di atas punggungnya terlihat diangkat sedikit, aku tahu dia tampak kerepotan karena ukuran remah-remah di antara semua semut, hanya miliknyalah yang terbesar. Lalu dia mulai berbicara, “kedua orang itu adalah orangtua dari si anak perempuan yang sedang menangis itu,” jawabnya sembari menginterupsiku untuk melirik anak perempuan yang masih tak puas membuat telaga kecil di pipinya.
          Aku menganggut-anggut dan masih enggan berbicara.
          “Kau tahu? Kata manusia bijak ; orangtua yang bertengkar di depan muka anaknya secara tidak langsung sudah menanamkan racun di dalam karakter anaknya. Lihat anak itu, apa yang bisa dia perbuat? Dia hanyalah anak ingusan yang hanya bisa mendengar dan melihat tapi tak mampu berteriak. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan anak untuk mengatasi masalahnya hanya dengan menangis.”
          Lubang para semut di dasar tembok mulai terlihat, aku belum sempat menjawab ocehan kawanku karena mataku beberapa detik terfokus pada lubang yang dua kali lebih besar dari lubang jarum. “Tapi, pasti ada alasan kenapa orangtuanya bertengkar,” tukasku.
          Kawanku sempat tertawa kecut meskipun aku tidak bisa menatapnya yang masih tertib berjalan di belakang. “Manusia adalah makhluk yang suka menumpahkan darah, banyak membuat alasan, melingkarkan cincin masalah di kehidupannya tanpa mau melepaskan, membuat hal remeh menjadi segunung dan itulah penyakit mereka. Dan, pertengakaran mereka dikarenakan si istri mengeluh dengan penghasilan suaminya. Aku sudah bosan mendengar keluhan itu setiap hari, dan, si anak itu juga sudah cukup lama mendengar hal yang tak pantas didengarnya,” papar kawanku seolah dialah si anak perempuan itu yang masih ditawan pesakitan sendirian.
          “Hmmm... Begitu. Kawan, tidak ada makhluk yang sempurna di dunia ini begitu pula dengan manusia yang digadang-gadang sebagai makhluk paling sempurna di antara yang lain. Kita harus memaklumi setiap kekurangannya. Dan, menurutku si istri wajar saja mengeluh seperti itu pada suaminya, itu berarti suaminya kurang bekerja keras,” timpalku. Tak terasa jarak kami dengan lubang itu sudah tinggal beberapa sentimeter lagi.
          “Tapi... Apa kau melupakan si anak? Apa yang akan terjadi nanti di masa depannya? Seperti apa karakternya? Aku yakin, pertengkaran orangtua di depan anak itu adalah racun ampuh untuk menyebarkan penyakit pada karakternya. Dia tidak akan jauh beda dengan perangai buruk orangtuanya. Mungkin akan lebih buruk lagi daripada orangtuanya.” Kawanku mengingatkan hal terpenting yang hampir kulupakan. Astaga! Itu benar!
          Kulirik anak perempuan itu lagi, dan dia masih tetap berjongkok sambil menahan tangis yang sesenggukan. Sementara suara orangtuanya terus mengudara menghantam pendengaran si anak dan menambah ketakutannya. Oh, sungguh menyedihkan anak manusia itu.
          “Ti-tidak! Remah-remahmu jatuh, kawan!” teriakan semut lain yang kupikir berada di belakang kawanku terdengar nyaring dan membuat langkah kami terhenti.
          “Ada apa?” tanyaku panik setelah kepalaku berhasil menengoknya.
          “Remah-remahku tersapu angin yang cukup kencang dari jendela itu."
          “Apa?! Kalau remah-remahmu hilang, nanti kau kelaparan!” seruku ikut panik.
          Aneh. Ekspresi kawanku justru begitu tenang tak ada riak kekhawatiran terhadap ancaman kelaparan yang bisa membuat hidupnya tamat. “Tidak apa-apa. Tuhan tidak akan pernah membiarkan makhluk-Nya mati kelaparan, karena setiap makhluk sudah memiliki jatah rezekinya masing-masing. Begitu pula kita para semut, lihat tubuh kita yang begitu tipis ini masih diberi rezeki dari remah-remah, bukan? Yasudah, kawan. Aku harus kembali lagi mencari remah-remah. Semoga kita bisa berjumpa lagi lain waktu,” pungkasnya sembari membalikkan badan hitamnya.
          Sementara aku hanya menatapnya penuh kesenduan. Para semut akan jarang sekali berjumpa dengan semut yang sama dan ini yang kusedihkan, kukira kami akan pulang di waktu yang sama, tapi karena keadaan kami harus berpisah. Hal terpenting baru saja kusadari saat ini adalah seseorang yang berada di dekat kita. Kehilangan remah-remah bisa dicari, tapi kehilangan kawan, kapan lagi kita akan berjumpa?
          Kutatap sekali lagi anak perempuan itu, lagi-lagi dia masih betah menangis. Seandainya saja aku bisa berteriak  seperti manusia, aku akan berteriak pada kedua orangtuanya ; Diamlah! Kalian sudah meracuni anak kalian! Jika kalian tetap seperti itu, aku tak yakin cambuk seperti apa yang akan Tuhan layangkan di masa depan terhadap kalian dan anak kalian!
SEKIAN

#FiksiRacun

Cerpen - The Dark Shadow

Diikutkan Dalam Lomba Cerpen ‘Bonus Track’

The Dark Shadow
(Alfy Maghfira)

Awalnya aku tak pernah percaya apa itu karma. Tapi sejak dua tahun yang lalu, karma itu menjadi labirin di hidupku. Setumpah darah membuat hidupku ikut ternodai. Sebuah noda yang ditorehkan oleh bayangan gelap yang selalu setia mengekori ke mana pun kakiku melangkah.
          ‘Si omes Reza’–itulah julukanku. Sebuah dosa yang bahkan tak pernah kuperbuat. Namun dosa itu membuatku  sulit merajut sebuah cinta dengan kupu-kupu yang kuintai.
          Sial! Andai saja gadis itu tak pernah menanggalkan nyawa di atas pangkuanku, takkan pernah kuterbebani sebuah janji yang bahkan tak pernah kubuat untuknya. Terakhir kali teringat dari sisa suaranya yang terdengar kering ; berjanjilah, kamu tidak akan pernah lari dariku.
***
Saat siang terbunuh oleh gelap, aku sudah berdiri di depan cermin, mengamati setiap lekuk wajah yang tak memiliki cela sedikit pun. Kubelai rahang tegasku dan merutuk, perempuan mana yang enggak lumer sama kegantenganku? Tapi... gara-gara si setan kampret itu, sudah 10 kali tamparan mendarat di pipiku, erangku sembari mengertakkan gigi.
          Arloji digital yang melingkar di lengan kuamati. Jam 7 malam sudah menyapa, saatnya kutunaikan sebuah janji pada sang primadona yang sudah kuintai hampir seminggu belakangan ini.
          Ini malam minggu, tentunya sepanjang roda kemudi kukendalikan, kedua sudut bibirku terus membentuk lengkungan manis dan menawan, membayangkan Aya Lusiana menyambut pernyataan cinta dariku.
          “Selamat malam,” sapaku saat kulihat gadis itu menunggu dengan setia di depan rumah gaya minimalisnya. Ah, aku nyaris seperti orang gila, saat mataku bergerak liar menyusuri lekuk tubuh Aya yang terbalut terusan merah terjuntai hingga batas atas lutut.
          Pipi gadis itu matang, terpanggang oleh cumbuanku yang mendarat di punggung tangannya. Dia menyibakkan anak rambut yang sempat melambai menggelitik pipi. “Kamu tepat waktu,” katanya sembari menyampirkan tas tangan di bahu.
          “Yuk...” tanganku mendarat di punggungnya. Tapi....
          Plak!
          “Auw!!” Panas. Perih. Saat tangan yang kukira gemulai itu ternyata mendarat begitu keras di pipi kiriku.  “Kok, nampar , sih?!” kutengok gadis di sampingku. Mulutnya sudah mengerucut. Kali ini rona di pipinya tergurat amarah yang sudah meletup untukku.
          “Brengsek kamu! Dasar otak mesum!” Kali ini tas tangannya dibenturkan ke dadaku.
          Gadis itu bergegas pergi tanpa keanggunan yang sering kuintip ketika di kampus. Langkah yang lebar meninggalkanku dengan keheningan dan bintang yang terlihat menertawakan kesialanku.
          Tubuhku berbalik dan meruncingkan sepasang mata pada bayangan hitam yang perlahan samar menunjukkan wujudnya. “Cassie!!!” Suaraku terkerah kuat hingga beroktaf-oktaf lengkap dengan nyala mata yang sudah tersulut emosi yang memuncak.
          “Hahahahah! Udah aku bilangian, kamu gak akan pernah dapet cewek satu pun. Kamu udah janji sama aku,” selorohnya sembari tertawa—tertawa atas nasibku yang terlalu sering ditampar dan ditolak gadis incaran.
          “Kenapa sih kamu doyan banget gangguin hidup aku, hah?! Lagian aku gak pernah bikin janji sama kamu!!” tukasku lengkap dengan desahan napas.
          Setan itu berambut panjang, warna kulitnya seputih kapur, tubuhnya masih terbalut kaus putih gambar bulan—baju yang terakhir kali dikenakannya ketika rohnya terlepas dari jasadnya.
          “Heh, Reza kampret! Aku mati gara-gara nyelametin kamu ketabrak bajaj!” setan itu bernama Cassiopeia. Tepatnya Desember tahun lalu, dia mati terlindas bajaj.
          Sial! Kenapa bukan aku saja yang Tuhan renggut? Hidup tanpa sepasang hawa, terasa hidup di atas pandang tandus tak berkaktus. Sudah hampir dua tahun kulamar 10 wanita, dan yang kuterima hanyalah 10 tamparan yang memberi cap merah perih plus julukan menjijikan sebagai pria omes-otak mesum. Shit!
          “Aku enggak pernah minta kamu selametin aku, kok! Aku lebih milih mati ketimbang hidupku digangguin sama setan macem kamu. Bisa-bisa aku enggak kawin seumur hidup gara-gara kamu doyan colekin pantat cewek yang jadi inceranku!” Mataku hampir keluar menerjang gadis pucat yang berdiri melayang di depan mata.
          “Kamu udah janji, buat terus bersamaku, Za.”
          “Aku kasihan sama kamu waktu itu. Namanya juga orang yang lagi simpati. Jadi sekarang kamu pergi ke alammu. Dan, jangan pernah hantuiku lagi. Jujur... aku enggak pernah cinta sama kamu, Cassie,” pungkasku dengan wajah masih begitu tegap menatap gadis yang perlahan menunjukkan air kesedihan di wajahnya.
          Tubuhnya yang terlayang di udara perlahan turun dan mendarat di atas tanah dingin. Langkahnya terlihat gontai. Persetan! Aku tak bisa terus bersimpati padanya, kesabaranku mulai tandus.
          “Jadi... ini jawaban yang  kudapat? Selama hampir dua tahun aku nunggu kamu buat jawab jawaban cintaku dan, ini jawabannya?” Aku tak tahu ada setan matanya mengembun, dan kali ini bisa kulihat dia menahan luka.
          “Maafin aku, Cassie. Kamu harus terima perasaanku. Lagian dunia kita sudah berbeda, meskipun aku bilang cinta sama kamu tetep aja jalan kita sudah berbeda. Kamu harus segera pergi dan tidur panjang.  Dan, terimakasih banyak karena sudah mengorbankan nyawamu demi aku,” kataku sembari tertunduk dalam.
          Hening. Senyap. Hanya angin malam yang mendesir menjawab kalimat panjang lebarku. Kuangkat kepalaku. Gadis itu... Setan itu... Menghilang. “Maafin aku, Cassie...,” pungkasku sembari mendongak menatap bintang yang berkedip seolah dialah bintang itu.  [ ]
         














         
         
         
         


Cerpen KF12-Benang Merah

Cerpen KF12-Benang Merah

Benang Merah
(Alfy Maghfira)
Tujuh hari yang lalu mataku bertemu di udara dengannya, Yoga Januar. Pipiku matang, terpanggang sebuah cinta yang membara dan berharap menjadikanku abu yang bisa ditiupkan padanya. Dengan menjadi abu, bisa kucumbui setiap lekuk wajahnya.

***
            Tok! Tok! Tok!
            Ketukan itu terus berirama nyaring ke seluruh penjuru telinga. Argh! Tidurku harus terjaga. Sialan! Jarum jam baru saja mendarat di angka 11, tapi kenapa ada orang malam-malam begini mampir ke rumah.
            Dengan rasa kantuk yang begitu kental di wajahku, kugugah seluruh tenaga mencapai pintu ruang tamu yang hanya menghabiskan 10 langkah dari kamar.
            Cklek!
            Samar-samar kulihat dua sosok adam tengah berdiri di depanku. Yang rambutnya cepak bisa kukenali wajahnya, si kampret Erwin, sepupuku.  Dan yang satu lagi... Wajah asing mulai kuamati. Rambutnya yang gondrong dan berantakan. Hatiku merutuk liar, ikh... Berantakan amet. Kayaknya dia udah berhari-hari gak mandi.
            “Ay, loh, kok, malah bengong, sih?” Erwin mulai mengomel saat bola mataku masih begitu nyaman mengumpat penampilan teman prianya yang begitu lusuh.
            Aku bersedekap dan mengangkat dagu. “Win, ada perlu apa malem-malem kamu ketok pintu? Nyadar enggak, sih? Kamu udah ganggu waktu tidurku...,” desisku layaknya ular yang terganggu dari tidur panjangnya.
            Erwin Aprilio mencondongkan tubuhnya ke dekatku hingga beberapa senti dari jarakku berdiri. “Ay, gue enggak ada waktu buat jelasin sama lu. Tapi, gue mau minta tolong sama lu. Di sini ‘kan banyak kamarnya. Jadi gue mau nitip temen gue buat numpang bobo selama 1 hari,” lidahnya begitu ringan meminta hal yang nyaris membuat emosiku langsung meradang hingga stadium 4.
            Mata yang semula memandanganya malas-malasan, mendadak harus kuruncingkan. “Apa? Gila! Kamu mau bikin aku sama temenmu ini di-RT-in sama warga, hah?!”
            Ekspresi pria di samping Erwin terlihat ‘tanpa dosa’. Tak ada angin atau pun ombak yang beriak dari wajahnya. Datar. Tenang. Seolah ucapanku tak mengundang kekecewaan untuknya.
            “Please. Lu ‘kan tahu, gue sekamar sama Radit. Mana mau adek gue berbagi ranjang sama orang asing.  Masa gue mesti taroh dia di sofa?”  
           Sepasang mataku sempat mengintai suasana jalan atau sudut rumah tetangga yang berada depan rumah. Cemas, kalau-kalau ada tetangga yang mengawasi kami layaknya polisi yang siap menggerebek para kupu-kupu malam bersama kumbang-kumbang bertanduk belang.
            “Sini!” Dengan kecepatan cahaya kutarik lengan pria yang masih belum kuketahui namanya ke dalam rumah. “Kamu cepat pulang! Aku kepaksa tampung dia di kamar belakang! Tapi... Kalau sampai ada apa-apa. Kamu yang tanggung jawab, ya, Win!”
***
“Untuk sementara kamu tidur di sini,” kataku dingin setelah kuentakkan pintu kamar yang berada di halaman belakang rumah.
            Terasa sial itu, ketika menjadi anak sulung, hanya bertemankan sepi dan angin di rumah tanpa adik atau pun orangtua. Seandainya saja Papa tidak pernah dimutasi ke Jakarta, mungkin aku bisa mengulur senyum atau pun gurauan bersamanya. Dan mungkin juga aku takkan sewas-was ini menampung orang asing di sini.
            Ekspresi pria itu nyaris seperti es. Dingin. Tak ada kehangatan yang kutangkap dari mata obsidiannya. Anehnya, aku tak pernah mampu menyambutnya dengan sebuah pertanyaan ; hai, siapa namamu?  Buru-buru kuenyahkan pandanganku darinya. Dan membiarkan pria itu memasuki biliknya untuk sehari saja
            Kewarasanku malam ini nyaris hilang 90 %. Entahlah, tak biasanya aku berbaik hati pada orang asing. Tapi... Dia membuat perasaan ini tak mengerti. Bahkan melupakan risiko yang akan kutanggung jika  berani menampungnya di rumah berdua dengannya. ‘Berdua’. Semoga saja Tuhan tak mengundang setan terliar hadir di antara kami berdua.
***
Saat matahari tergantung tak sempurna di langit, Erwin datang ke rumahku. Memberitahu siapa temannya yang menumpang di rumah. Kepalaku bergerak kaku dan kulemparkan pandanganku pada pintu kamar yang masih terkunci yang berada di depan kolam ikan. Aneh. Ada kebahagiaan yang menyelinap nakal ke dalam hati.
Sudah lama kunantikan ini....
***
Kala matahari tergantung sempurna di atas kepala. Dengan keberanian yang terkumpul aku bertandang ke depan pintu kamarnya. Rasa gugup kian memuncak saat tanganku berhasil mengetuk pintu dan pria itu berdiri tepat di depanku.
            Aku masih tak percaya kalau  Yoga Januar, seorang penulis yang diam-diam sudah mencuri hatiku sejak lama karena setiap bukunya yang kubaca. Jika saja dia mendengar isi hatiku, dia hanya akan menjudge aku hanyalah seorang fans-nya yang wajar saja memiliki perasaan seperti itu.
            “Hai, se-seharian ini kamu enggak keluar kamar. Kamu pasti belum makan,” kataku terdengar kikuk. Oh, Tuhan, wajahnya yang tenang membuatku nyaris mampus.
            “Sudah, aku bawa beberapa snack di ranselku,” jawabnya seadanya. Kemudian dia berbalik dan membelakangiku.
            Sepertinya dia adalah pria yang cukup praktis. Tak suka mengulur waktu. Tak suka berbasa-basi. Hanya akan berbicara jika ada orang yang mengajaknya berbicara, jawabannya pun hanya seperlunya saja.
            Bola mataku sempat berputar mencari topik yang bisa mengenyahkan rasa canggung. Sialan! Sekian puluh detik aku terdiam. Lantas kusandarkan punggung di bibir pintu, kali ini mataku bergerak liar menikmati punggungnya.
          “Aku sudah lama mengagumi novelmu yang ‘Benang Merah Untuk yang Mati’,” kataku saat pria itu sedang membereskan pakaian ke dalam ranselnya.
            Gerakannya sempat terjeda. Termenung ketika suaraku hadir di ambang pintu dan menganggu aktivitasnya. “Oh...” kering sekali jawabannya.      
            “Apa aku boleh tahu, kenapa kamu berpikir orang yang sudah mati, benang merahnya takkan pernah terputus dengan pasangannya yang masih hidup?”
            “Hmm...” Mulanya dia hanya berdeham. Lalu melanjutkannya, “Aku percaya, kelingking kita terlilit oleh satu benang merah yang membentang pada belahan jiwa kita. Meskipun belahan jiwa kita sudah mati, tetap saja garis takdir takkan pernah terputus. Karena benang merah tak hanya berlaku di dunia saja tapi sesudah kehidupan kita pun, itu masih berlaku,” pungkasnya panjang lebar.
            “Apa itu kisahmu?”
            “Bisa dibilang seperti itu,” jawabnya disertai suara risleting yang dirapatkan.
            “Ba-bagaimana kalau Tuhan menakdirkan berang merahmu untuk belahan jiwa yang lain di sini, dia yang masih hidup?” diam-diam kulontarkan sebuah pertanyaan yang bisa memberiku secarik harapan darinya.
            Tubuhnya berputar dan kali ini dia menatapku. Bisa kuarasakan tatapan dingin tanpa seulas kehangatan dari matanya . “Tidak. Aku tidak percaya itu. Benang merahku masih tersambung dengan dia yang sudah mati. Aku masih menjaga hatiku untuknya.”
            Mataku terpejam. Seolah itu adalah sebuah pukulan keras yang menyadarkanku bahwa tak ada ruang sedikit pun untuk wanita lain di hatinya. “Baiklah. Maafkan aku sudah menanyakan hal yang tidak sopan,” pungkasku sembari berlalu dengan mata yang mulai mengembun. Perih.
***
 Wajahnya tak setampan Jansen Ackles yang kudambakan. Dia berantakan, dingin. Persetan, seburuk apa pun penampilannya! Ada sisi menarik saat kutangkap hazel matanya. Kata orang; hal paling kejam yang bisa dilakukan laki-laki adalah membuat perempuan jatuh cinta padahal dia tak berniat membalasnya. Meskipun aku tahu, dia tak pernah sengaja membuatku terjatuh padanya.
          Cinta memang tak mengenal situasi. Bahkan aku jatuh cinta padanya karena sebuah novel yang kubaca, jauh sebelum aku bertemu dengannya. Pertemuanku sehari dengannya, nyaris membuat otakku gila. Gila! Dalam sehari kurajut sebuah mimpi berharap aku pemilik seutas benang merah yang terbentang dengannya.
            Kubiarkan dia pergi, tanpa kuutarakan hatiku yang sudah menggebu padanya. Biarkan takdir mengalir adanya. Aku hanyalah perempuan yang hanya menunggu Tuhan melintangkan benang merah kehidupan dengan dia, Yoga Januar. [ ]