My Books

My Books
Araska Publisher, 2014. Ellunar, 2014, 2015, 2015.
I LOVE KAMPUS FIKSI - #KAMPUSFIKSI12

Matahari yang Tergelincir

Matahari yang Tergelincir
Alfy Maghfira
 
matahari
sumber:wikipedia.org
Kicauan burung menjadi harmoni saat menyambut pagi. Selayaknya ketika kau terbangun dari mimpi panjangmu semalam—perhatikanlah apa yang berarakan di langit, sinar apa yang merembet lurus menerobos awan-awan.
            Kau merenggangkan otot-otot, menggeliat, dan menyingsing tirai jendela. Sepasang matamu tidak kuat menahan serangan fajar, bukan? Kerjapan matamu pun, menjawab bahwa kau tak bisa menerima sinar mentari yang kebablasan.
            Di siang hari, seperti biasanya kau siap menyibukkan diri, memerah peluh hingga matahari tergelincir beberapa jam ke depan. Saat jemarimu menjentik urusan-urusan dunia, ego dan mimpi-mimpimu... kau selalu peduli dengan jarum jam yang bergulir, kau selalu khawatir tak-tik-tuk-tek-tok itu menghabiskan kesempatanmu. Tanpa ingin kau tengok ada apa di langit?
            Hemp... tapi di balik langit... ia tak pernah sekalipun merasa bosan menyerap sebahagian energinya padamu. Meskipun... kau sering melupakannya.
            Suatu hari kau menggerutu pada rekan kerjamu. Karena 2 bulan lalu kau baru wisuda, lantas hari itu kau berpikir seluruh tenagamu tidak pantas lagi membantu pekerjaan rekanmu yang lulusan SMA. Sering kali kau bersikap seperti seorang psikopat, senyummu tampak di permukaan, tapi dalam hati.... apa pun berbau keterpaksaan.
            Dan rekanmu pun bertanya, “Apa tidak apa-apa?”
            “Saya ikhlas,” begitulah kau menjawab. Ringan sekali, bukan?
            Hingga lusinan kali kau terbiasa mengatakan itu, semakin hari beranjak, semakin kau tidak bisa melupakan apa-apa yang sudah kau perbuat untuk semua orang. Tapi ada hal yang sering kau lupakan. Okelah, mungkin ini sedikit jorok... tapi setiap pagi, saat kau melorotkan celana lalu bertepekur di atas kloset—membuang seluruh hajatmu, kau siram, tanpa enggan kau tengok lagi. Itu adalah kepunyaanmu, tapi dengan senang hati kau lepaskan, bukan?
            Siang bolong, tampaknya kau mulai dilanda kegerahan. Berkali-kali tanganmu kau gunakan sebagai kipas. Dikibas ke depan-belakang, membuat desauan angin berhamburan ke arahmu. Sejuk, bukan? Hah, tapi angin memang bisu, dia tak pernah berbisik ke telingamu untuk menuntut terimakasih. Kau mengernyitkan dahi, merasakan sinar matahari kian memanggang. Kau pun mengeluh, “Panas sekali.”
            Tak lama keluhanmu pun terjawab, setelah kau tandaskan jentikan jemarimu dari urusan dunia. Hari itu langit sudah beranjak petang. Di ufuk barat, mentari mulai meredup, mempersilakan kegelapan merayap. Dia menjawab keluhanmu, bahwa dia ‘kan pergi tapi masih menitipkan hangat dan cahaya pada bulan di malam hari. Dia datang dan pergi, tanpa sepatah kata pun padamu.