My Books

My Books
Araska Publisher, 2014. Ellunar, 2014, 2015, 2015.
I LOVE KAMPUS FIKSI - #KAMPUSFIKSI12

Cerpen-Rye Ditetes Airmata



Rye Ditetes Airmata
(Alfy Maghfira)
 
been-seen.com
Di belahan bumi utara, tahun 1891, aku masih betah mendiami tanah-tanah yang sudah berminggu-minggu ini sedikit sekali diciumi heksagonal-heksagonal dari langit, padahal sekarang musim dingin, tapi kekeringan terus merebut semua musim. Musim panas yang membakar kulit, musim gugur yang menyesakkan dada dan musim dingin yang penuh dengan bencana.
            Revolusi kekaisaran, pemberontakan, kekejaman rezim Tsar dan musim yang teramat kejam telah memonopoli kehidupan rakyat Rusia belahan barat. Bumi yang merindukan tetesan langit ini, menjadi lebih sering ditetesi derai airmata dan darah.
 Tubuhku yang kuning, jika siang malah semakin kering-kerontang. Meskipun kaki ini semakin berakar untuk terus bertahan hidup, tapi aku bukanlah objek yang senang untuk dilihat.
            Mereka menyebutku bencana, mereka menyebutku benalu dan ancaman besar. Ya, ini adalah musim dingin yang panjang. Hanya ada aku dan Rye, bukan gandum, atau buah-buahan lainnya.
            Terkadang aku bisa bersyukur jika mereka sekali-kali menyiramiku dengan ludah yang nyaris kering dari lidah karena mereka sangat membenciku. Tak terhitung berapa kali tangan kasar berusaha mencabik-cabikku dari halaman rumah mereka, tapi langit, angin dan tanah masih memberikanku nyawa untuk hidup di depan para pembenci.
            Pada suatu hari di pagi yang disesaki angin dari arah selatan, salah satu pembenciku berteriak-teriak seperti domba yang hendak dikuliti hidup-hidup. Ia keluar rumah dengan kedua bola mata hampir padam, perutnya yang dulu subur kini kerempeng. Ia berjalan sempoyongan sembari menekuk perutnya dengan sebuah batu besar seukuran kepalanya sendiri.
            Dia berteriak, “Rye! Rye!” lalu berurai airmata. Suaranya pun nyaris seperti siulan burung yang sekarat. Sebut saja dia Sheva, seorang pemuda Rusia dari belahan barat yang menumpu hidupnya sebagai petani gandum.
            “Belum ada yang membuat Rye!” sahut Abra yang sedang mengobrak-abrik jerami di halaman rumah Sheva.
Tumpukan jerami itu biasanya disiapkan untuk menghangatkan ternak-ternak mereka dari musim dingin. Tapi Abra malah mencincang tumpukan itu lalu menggiringnya ke dapur untuk diberikan pada ibunya.
Abra menatap wajah ibunya yang semakin tirus dan mata penuh dengan kilauan. Entah itu terharu atau tidak, tapi aku mengamatinya dari luar.
“Aku harap rumput-rumput kering segera berlalu. Aku harap langit pun mau berbaik hati dengan kita,” gumam Sheva lemas, sembari menatap sendu langit yang begitu kejam baginya.
“Apa kau akan terus memusuhi langit? Padahal kita sering menuai gandum milik kita,” timpal Abra, suaranya masih terdengar cukup kuat untuk 2 hari ke depan. Ia menghampiri Sheva yang sedang duduk di atas tanah dingin menusuk pantatnya.
Pria berambut pirang yang ditutupi oleh topinya itu lalu mulai mencabutiku yang sedang berdiri di sampingnya. Kemudian ia melemparku ke sembarang arah sambil berkata, “jika mereka tidak ada, musim dingin artinya sudah berlalu. Dan kita tidak harus makan Rye terus.”
Sebenarnya Abra menepekuri ucapan Sheva, aku melihat dari sorot matanya yang penuh pertentangan dengan adiknya, “Kau lupa? Musim yang kejam ini bukan Tuhan yang menciptakan, bukan pula alam. Seandainya gandum dan seluruh ternak kita tidak dirampas oleh setan-setan itu, mungkin kita sekarang masih memiliki persediaan makanan di musim kering yang panjang ini. Tapi... cih!”
“Kau benar, setan-setan itu terlalu rakus memenuhi perut mereka,” sahut Sheva sembari menyimpan perlahan batu yang semula menekuk perutnya ke atas tanah.
Suara laju kereta kuda pun terdengar riuh dari kejauhan. Sheva Dan Abra terlonjak panik. Mereka saling berpandangan dan menebak pikiran satu sama lain.
“Apa kau sudah menyembunyikannya?” tanya Sheva.
“Aku memberikannya pada Ibu dengan jerami tadi.”
Aura malapetaka dirasa semakin kuat. Lantas Abra menatap rumah yang di atasnya terdapat cerobong asap. Pertanda sarapan akan segera terhidang. Aroma asap yang mengelun di udara bagi Abra sesedap roti pastry di tahun lalu. Aku berharap aroma itu bisa tercium oleh para penarik kereta kuda itu dan mampu merasakan betapa lezatnya masakan di musim dingin yang panjang ini.
Makanan di musim dingin yang panjang ini selalu membuat Sheva dan Abra berbicara, “Kuharap besok kita masih tetap hidup.”
Aku mendengar suara kaki kuda itu mulai semakin dekat. Orang-orang  yang menungganginya bertopi fedora, badannya dilapisi jas hitam yang terjuntai hingga lutut, serta pangkal bibir mereka yang ditumbuhi kumis pun tampak tidak menawan karena kebrutalan mereka melebihi lintah penghisap darah.
Sheva dan Abra masih dikatakan beruntung. Kemarin aku melihat orang-orang berkuda itu memporak-porandakan sebuah keluarga karena ketahuan menyembunyikan sekepal gandum yang seharusnya disita oleh pemerintah untuk terus diekspor ke negara lain. Miris.         
Orang-orang berkuda itu adalah suruhan pemerintah Rusia yang sedang berkeliling mencurigai setiap rumah yang dilaporkan mencuri gandum. Sheva dan Abra juga tak luput dari kecurigaan itu. Aku mendengar erangan Sheva saat orang-orang kejam itu membidikkan pistol ke kepalanya sebagai taruhan jika sampai ditemukan gandum dalam rumah keluarga Sheva.
“Geledah rumah ini!” teriak sang komandan yang masih garang membidikkan pistol.
Ibu dari kedua pria tersebut terdengar memekik histeris. Aku membayangkan wanita paruh baya yang tadinya sedang mengadon Rye di dapur harus diseret paksa oleh para lintah itu. Semua orang yang berada di desa ini hanya menatap nanar tindak kekerasan itu.
Tak ada yang mampu bersuara untuk protes sedikit pun, mendadak desa ini seperti dihuni oleh benda-benda mati dan benda-benda tak bersuara sepertiku. Hanya menjadi saksi bisu sejarah. Mungkin hanya angin saja yang mampu menyebarkan peristiwa ini hingga terendus ke masa depan.
“Apa yang kalian masak?!” tanya pria garang yang sedang menjambak Ibu Sheva.
Ibu Sheva tak mampu berbicara, suaranya tercekat oleh ketakutan yang tergolek di hati. Tapi Sheva yang berada di ujung kematian lantas menimpalinya dengan sisa-sisa suara yang nyaris habis, “Ry-Rye... kami hanya makan Rye.”
“Kumohon lepaskan adikku. Kami sama sekali tidak menyembunyikan gandum atau ternak di sini. Tidak ada yang tersisa!” Abra berbicara gelisah.
Para pesuruh kaisar itu lantas mengerutkan keningnya tentang makanan yang disebut-sebut.
“Apa Rye itu?”
“Roti... Roti Rye.” Aku melihat pijar bola mata Abra penuh kebencian, penderitaan dan dendam saat menyebut makanan yang sudah menemani mereka selama berhari-hari.
Hanya saja keberuntungan selalu menyertai mereka setelah memakan itu. Berbeda dengan tetangga mereka. Wajahnya lekas membiru dan mulutnya berbusa memuntahkan seluruh penderitaan yang ditahan perut mereka.
Ibu Sheva segera berlari ke dapur. Aku mengamati dengan setia bagaimana langkah kakinya begitu kuat seolah ada sesuatu yang membuatnya semangat untuk memulai pertarungan hidup. Ia kembali lagi keluar dengan senampan roti Rye. Bentuknya sekepal tangan warna kuning kehitaman.
Salah satu dari komplotan lintah penghisap itu terpaksa harus mencicipi roti Rye yang bagiku dipandang saja sudah sangat memuakkan. Satu gigitan, memastikan tidak ada gandum dan tidak ada kebohongan dari keluarga Sheva.
Setiap hari aku melihat bahan-bahan roti Rye digiring ke dapur, Sheva yang mencabutiku, mencabuti semak-semak, lalu mengeruk pasir; sedangkan Abra menyediakan jerami dan batang pohon yang sudah dicincang; dan ibu mereka yang mencampurkannya dengan air dan sisa-sisa gandum yang dimiliki.
Sebenarnya aku heran melihat ibu Sheva tiba-tiba saja tersenyum tipis penuh kemenangan setelah melihat roti Rye yang dibuatnya ditelan oleh  mafia itu.
“Aku tidak bisa merasakan gandum apa pun. Arghh... makanan apa ini?!! Rasanya perut dan tenggorokanku terbakar, Tuan!!” pekiknya sembari mencengkeram perutnya.
“Bunuh mereka!!!” teriak sang komandan yang sedari tadi menodong pistol ke kepala Sheva.
Menjadi rumput pun, aku masih bisa merasakan rasanya nyawa mereka segera terangkat setelah aba-aba mengerikan itu. Ibu Sheva hanya tertawa penuh kemenangan. Sepasang matanya nyalang bak seekor babi hutan yang siap membalas anjing-anjing kaisar itu.
“Bunuh saja kami! Kami tidak takut dengan kaisar bodoh kalian! Untuk apa kami hidup sementara keadilan terus kalian hisap?! Kami kaya tapi kalian merampas segalanya!” wanita itu berteriak kembali, memancing senapan segera melesakkan pelurunya.
Dor!!!
Darah segar terpancar kuat pada tubuhku saat peluru melesat ke dalam tempurung anak wanita itu. Sheva! Tubuhku yang tak bertulang hanya disangga batang kecil dan lenganku yang berupa helaian daun tipis hanya mampu menumpu tubuh Sheva hingga terkulai ke atas tanah.
“Sheva!!!” teriak Abra dan ibunya. Airmata mereka mulai menjala ke seluruh ruang pipi. Termasuk aku yang hanya bisa melambai lemah, menari dalam kesedihan bersama angin di pagi yang kering ini.
Satu roh berhasil tertanggal dari tubuhnya. Ibu Sheva terus membelai kepala putranya yang berbau amis bersimbah darah. Wanita itu tersenyum getir dan berbisik seperti ini, “Kau selalu mengeluh saat memakan roti Rye itu. Kau bilang pencernaanmu sakit, kan? Kau bilang sudah tidak tahan, kan? Maafkan Ibu, Nak. Lebih baik kau mati saja daripada kau harus menderita memakan roti kelaparan itu. Roti Rye yang sering kubuat.”
Rusia 1891 memiliki dua spektrum yang berbeda, kemajuan industri besar-besaran dan di spektrum lain terjadinya wabah kelaparan. Dan aku adalah saksi bisu hari ini. Roti Rye yang penuh kenangan dan airmata. []

Menampias Airmata



Menampias Airmata
(Alfy Maghfira)
eramuslim.com

Siapa pun boleh protes dengan kehidupan ini. Termasuk saya—Asma—yang kelewat bisu—membungkam seluruh beban yang terasa memuakkan di dada, kepala, tangan, kaki, mata hingga usus-ususku!
            Jika bisa saya ingin menjereng beban ini, dan melemparkannya pada Tuhan. Tapi... dalam perjalanan yang terseok-seok ini, pun linglung saat menemui perempatan. Banyak orang yang berbisik, berteriak, membujuk rayu agar saya memilih jalan yang mereka tunjukkan.
            “Lurus! Lurus!” teriaknya bak tukang parkir.
            “Kanan aja, di sana bisa makan gratis!”
            “Kiri, bisa lihat pegunungan!”
            Ah, sebagai manusia mana bisa saya terawang di jalan sana seperti apa? Hari itu saya memilih menyisi saja di emperan. Sesekali menengok matahari, siapa tahu masih sudi menerangi jalan saya.
            Menimbang kembali, saya harus memilih jalan mana. Jalan mana yang membawa ke surga? Apa benar mulut-mulut itu berkata seadanya? Bukan mengada-ada? Benar. Memang benar rasanya manusia di dunia ini sulit untuk saya percayai. Manis hanya di lidah saja, hati siapa yang bisa menduga, siapa tahu dia sedang dusta?
            Apa saya harus menggunakan logika atau nurani? Sekali lagi saya bimbang hingga matahari kian ditelan langit pun saya masih penuh perhitungan ke manakah saya harus mengembara?
            “Mau ke mana?” tanya seorang kakek yang tiba-tiba saja menghampiri saya yang sedang berjongkok.
            Saya mendongak. Heran. Tapi saya berusaha tersenyum meskipun hambar. “Mau ketemu Tuhan.”
            Kakek itu tertawa. “Mau ngapain ketemu Tuhan? Sing waras ngomong teh,” dia akhirnya mencibir saya.
            “Biar saya menangis saja depan Tuhan,” timpal saya.