My Books

My Books
Araska Publisher, 2014. Ellunar, 2014, 2015, 2015.
I LOVE KAMPUS FIKSI - #KAMPUSFIKSI12
Jurnal 24-25 November 2018

Jurnal 24-25 November 2018

Jurnal Dua Puluh Empat sampai Dua Puluh Lima November 2018

Bismillahirrahmanirrahim,
Kereta Serayu, Jumat, 23 November 2018. Pukul 20:40. Terlambat 10 menit tiba di stasiun.
Aku berangkat dengan kondisi kesehatan yang buruk. Insya Allah semoga Allah mengurangi dosaku dengan niatku pergi ke Jakarta untuk menghadiri acara pernikahan Kak Wulan Isfah Jamilah.
Saat itu aku sedang flu, demam, batuk, dan keringat dingin. Pukul 4:30 tiba di Statiun Bekasi. Aku tiba di rumah Oom Opik sekitar pukul 5:30 pakai Gojek di Perum Bumi Anggrek Permai Blok T/63.

Alhamdulillah, udah rezekinya anak solehah (Aamiin) baru datang diajak ke acaranya perusahaan Oom di Waterbom Jakarta Pantai Indah Kapuk. Alhamdulillah aku nggak telat datang ke rumah Oom, ya karena Oom nggak tahu aku bakal ke rumahnya.

Setali tiga uang rasanya aku dapat hal berharga saat pergi ke Bekasi/Jakarta. Aku bisa akrab sama Hafsa, sepupuku ini usianya baru 7 tahun, tapi dia susah akrab denganku. Udah bertahun-tahun aku coba dekat sama dia tapi susah. Tapi hari itu, dia mulai suka denganku. Kami bermain air bersama meskipun usiaku sudah 24 tahun. Tapi aku tidak peduli. Aku temani dia naik perosotan anak-anak. Alhadmulillah.

Aku cukup tahu Bulek Dewi nggak sekaku yang kupikirankan selama ini. Dia cukup banyak cerita soal kerja kerasnya di Bekasi. Ah, dan sepanjang jalan ke waterbom aku juga diomelin Bi Yuli. Masya Allah, banyak banget masukannya terutama soal 'manage keuangan'. Kamu tahu? Gara-gara dia pulang-pulang, aku dengerin sarannya. Aku selalu masak pagi hari buat bekal makan siang di tempat kerja.

***
Jadwal walimahan Kak Wulan pukul 19.00, sedangkan acara di PIK kelar pukul 16.00, dari PIK aku berpisah dengan keluarga Oom. Aku naik gojek, dan harus bayar sekitar 70rb! Jauh banget! Aku deg-degan pas lewat tanjung priok, mobilnya gede-gede, mana si abang gojek serempet-serempet. Kan aku takut kelindes. :((

Pukul 18;00 Aku udah sampai di Gelanggang Remaja Kec. Koja. Demamku makin tinggi, udah lelah banget sebenarnya. Aku diem di masjid sambil charge Hp dan menunngu Kak Jihan atau Kak Dinda tiba.

Acara walimahan berlangsung ramai, aku nggak sempat lama-lama, selain kondisiku udah mulai drop, udah nyaris pukul 9 malam juga itu bikin cemas karena harus balik ke Bekasi. Mobill Grab susah didapat karena hujan deras mulai melanda. Alhamdulillah, aku pulang bareng Kak Dinda dan suami ke daerah Jaktim. Dia janji bakal anterin aku ke Manggrai.

Sekitar pukul 10 malam aku baru sampai di Stasiun Manggarai, dan kebagian jadwal KRL yang paling terakhir pukul 11 malam! Aku khawatir banget takut dimarahin Bibi dan dari stasiun juga cukup jauh ke Tambun.

Pukul  23.40an aku sampai rumah Oom. Pagar dan pintu tidak dikunci. Masuk kamar Farah, dan sepupuku lagi tidur pulas. Besoknya Bi Yuli ngomel kenapa pulangnya telat dan lain sebagainya.

***
Ahad, 25 November 2018
Sekitar pukul 13.00 aku berangkat dari KRL Bekasi menuju stasiun UI. Tapi di tengah jalan Fadhil kirim WA dan minta ketemuan di Stasiun Manggarai buat pergi bareng ke Gramedia Matraman. 

Jurnal Tujuh Oktober Dua Ribu Delapan Belas


Bismillahirrahmanirrahim,
Insya Allah, dalam setiap pertemuan pasti ada efek dan tujuan yang terjadi masing-masing dari kita.
Dan tinggal bertafakur saja, apa hikmah yang kamu ambil?

Tadinya aku sudah planning mau bikin jurnal dalam video, tapi entah karena too excited jadi lupa lah. Setidaknya masih hangat buat ditulis makanya aku posting saja dalam blog ini.

6-7 Oktober 2018, itu perjalanan yang amat singkat. Aku harus mampu mengatur waktu, dan menetapkan tujuan apa sebenarnya ke Jakarta? Awalnya, aku niatkan buat fest readers, karena Fadhil sudah datang duluan, dan responnya mengecewakan, dia sempat pesimis dan memintaku buat nggak usah datang. Hei! Speechles lah aku. Udah berkaca-kaca. Masa nggak jadi? Masa sih? Kok gitu.

Oke, aku perbaiki niatku. Aku nggak mau jauh-jauh datang ke Jakarta dan kecewa gitu aja hanya karena Fest Readersnya nggak oke tapi mengabaikan dengan siapa kamu bertemu. Tentu, aku bakal senang banget kalau ketemu Rahmat Fadhilah. Orang yang tiga tahun lalu pertama kali kujumpai di Yogya. Kapan lagi coba aku bisa ketemu dia? Kapan lagi?!

Di Yogya, kami nggak sempat banyak ngobrol, fokus pelatihan. Dan, aku juga belum terlalu mengenal dia. Yo wes, apa pun yang terjadi aku tetap pergi. Satu hal yang kusyukuri, kami sama-sama demen ke Gramedia. Tapi jujur aja, sebelum berangkat aku cemas, gimana kalau awkward? Aduh, nggak kebayang. Awkward ama orang itu jadi ntarnya bingung mau ngobrol apa.

Ahad, 7 Oktober 2018
Aku udah sampai Stasiun Senin pukul 5:30. Kereta ngaret! Harusnya nyampe jam 4 subuh, ya terpaksa aku solat sambil duduk di kereta. Aku ketemu Santi dan samperin ke kostan, kebetulan dekat dengan Monas. Ya, pergi dong ke sana! Aku nggak pernah pergi ke sana. T.T Alhamdulillah, meskipun kita berbeda agama, dia welcome banget. Banget. Banget! Dia usianya lebih muda 3 tahun dariku, tapi aku have fun n enjoy.

Pukul 09:00 aku berpisah dengan Santi di Monas. Dan bertolak ke Stasiun Gondangdia. Aku inget betul harus ke mana kalau mau ke Cilandak, Fadhil bilang lewat Gondangdia. Itu pengalaman pertamaku naik KRL sendirian! Untung lagi sepi, jadi aku bisa duduk. Sepanjang jalan, aku melototin rute KRL, takut kelewat. Ternyata cukup cepat dan hemat juga. Alhamdulillah aku sampe Stasiun Tanjung Barat pukul 10:30 WIB. Tapi? Tapi darisanalah aku merasa ugh... mood-ku rusak, dan ampe nangis beberapa menit.

Ya Allah, jauh-jauh ke Cilandak, pake KRL, gojek, ternyata? Ternyata aku lupa sebelah mana. Dan menguji iman banget pas sanak saudara ampe Bapak nggak ada yang bisa dihubungi. Udah jalan sana-sini ampe kaki lecet, dan akhirnya aku duduk di warung. Bingung... meski ke mana. Masih pukul 11:30 WIB. Sementara jadwal ketemu Fadhil pukul 14:00 WIB. Aku diem di warung itu sambil cek ongkir gojek ke Tj. Barat, dan gila aku harus balik lagi? Ah, aku geleng-geleng kepala. Udah , lelah, udah pusing kepanasan.

Kembali ke Stasiun Tanjung Barat, berharap tiduran di mushola. Udah itu aja yang kuperluin waktu itu. Dan, pas ke loket, aku lupa! Iya aku mesti tahu tiket apa yang harus kubeli. Astaga! Aku nanya Fadhil, dan dia bilang ke Jakarta Kota. Dan aku curhat bla bla bla. Dia bilang nyuruh aku nunggu di Manggarai aja. Buset, aku merasa terombang-ambing. Justru aku habis lewat sana, Dil. Dan aku harus balik lagi ke Manggarai. Sumpah, aku kesel banget bukan karena Fadhil, tapi karena gara-gara nggak nemu rumah uwa.

Di bangku stasiun Tj. Barat, eh aku diem-diem nangis sendiri. Merasa waktuku terbuang sia-sia buat bolak-balik, tapi tafakur lagi, kembali tafakur lagi. Pasti Allah punya tujuan kenapa aku harus mengalami ini. Setidaknya aku bisa tahu rute KRL, aku bisa belajar nahan emosi, bisa memakai waktu menunggu dengan mengaji lebih banyak. 

Pukul 14:00 aku naik KRL menuju Manggarai. Kereta padat banget, waktu itu Fadhil ada nge-WA, “Mbak Aman?” Aku sungguh lagi bad mood, jadi hanya foto pantat orang aja. Sampai Manggarai, sekitar pukul 14:30 WIB, belum solat dzuhur sama sekali. Setelah selesai Jamak, aku mutusin buat nunggu kabar Fadhil di sana. Dan, aku percaya setiap hal yang terjadi pasti Allah punya tujuan dan kebaikan. Aku nunggu Fadhil sambil tilawah lagi, aku nggak mau pas ketemu dia mood-ku buruk.
Alhamdulillah, pukul 15:30 Fadhil ngasih kabar. Senang bukan main dong! Jujur saja, aku nggak enak sama dia. Aku tahu pasti dia cape, aku tahu malamnya dia punya tugas. Dan gara-gara aku tugasnya harus dikerjakan malam suntuk. Deg-degan juga ketemu Fadhil. Bedanya sekarang udah dewasa, aku lihat dia sih, tapi aku masih diem di deket Alfamart, aku bingung harus menyapa kayak gimana.

“Fadhil!” Aku lupa-lupa ingat, rasanya aku teriak gitu. Ya Allah, Fadhil nggak berubah. Intonasi suaranya masih tetap rendah. Aku kira berubah gimana!

Masya Allah, semua mood jelek itu hilang, dan kekhawatiran itu hilang. Entah kenapa nggak kerasa awkward meskipun udah lama nggak ketemu. Ya dulu ketemu pun  sebagai orang asing. Dan, sekarang beda ceritanya.

Kami banyak ngobrol di kereta, apa aja. Apa aja, dan nggak kerasa garing. Terus ke kota tua, dan aku nggak kecewa kok. Kapan lagi aku bisa ke sana? Terus lihat orang-orang berderet-deretan di kota tua, jalan kaki ke sana sama temen yaitu Fadhil. Kapan lagi? Tapi aku lupa ya, besoknya dia punya tugas.
Oh, ya, Fadhil itu orangnya gigih dan nggak nyerah. Kelihatannya gini: pas naik KRL yang mau ke Matraman itu, dia kukuh pengin nyari kursi kosong ampe lewat beberapa gerbong. Ampe mentok, dia ngajak pindah gerbong. Nah, itu! Yang paling berkesan. Crazy! Tapi Fadhil yakin banget jawabnya. Okelah, aku pegang tas dia, nggak mau ketinggalan. Fantasinya menyenangkan banget! Lain kali aku pengin ngelakuin hal itu lagi.

Setelah sampai Matraman, kita makan. Nah, di sini kami punya hal kontras. Dia suka teh manis, tapi digulain lagi. Aku nggak suka teh manis yang terlalu manis. Terus dia makan pun rapi banget, cabenya dia pisahin dulu, terus dia makan nasinya ampe bersih. Aku? Random banget dah.

Ada pertanyaan Fadhil yang paling membekas sampe sekarang, “Mbak nggak mau tahfidzan lagi?” Gimana ya? Aku tahun lalu udah berusaha, tapi ya ambyar lagi. Buat hafalan quran aku nggak boleh dengar musik, nggal boleh nonton film sembarangan, pokoknya harus steril biar hafalanku kuat.

Tapi pertanyaan Fadhil itu bikin aku tergerak lagi. Entah kenapa aku pengin lagi ngumpulin semua hafalanku, berapa pun ayat yang bisa kutampung, aku mau coba. Aku mau coba! Dan! Di sinilah rasanya tujuan terbesar Allah pertemuin aku dengan Fadhil kembali.

Aku mau hafalan quran lagi. Semoga istiqamah. Terima kasih Fadhil. Sampai ketemu lagi nanti.... JJ

Btw, Maafin aku, ya, Dil. Secara tidak langsung gara-gara kamu pulang jam 10-an, tugasmu terbengkalai.

Sajak Hari Ini

Senja
Mari ke sini!
Saat siang bersalaman dengan senja, aku merenung tentang kehidupanku.
Mengapa rasanya asin, manis, pahit, asam bahkan tawar? Mengapa Tuhan menciptakan pelangi rasa?
Lalu dadaku sedikit sesak karena banyak bertanya.
Burung-burung memancingku mendongak, menyadari langit bumi itu biru, mengapa biru? Awan itu putih, mengapa putih? Dan senja itu jingga, mengapa jingga? 
Bolehkah aku menawar?
Dan mengapa ilalang bergerak ditiup angin? Mengapa ia tampak tak berguna?
Sekarang aku terdiam setelah pertanyaanku berhamburan. Kehidupan berjalan seperti itu adanya. Tak ada tawar-menawar. Jalani saja.
#sajak hari ini by Alfy

Percikan Hujan


Ribuan kubik hujan yang berjatuhan tak sebanding dengan derasnya sebuah kata yang mulai menggenang separuh isi kepalaku

Genangannya meluap dari kelopak mata, terjatuh bersama rintik. Sebuah kata yang terbentuk dari percikan hujan. Suaranya adalah suaramu, rintiknya adalah kisahmu, dan genangannya adalah duniamu.

Sebuah kata yang tak sanggup kugumam meski suara hujan menutupi. Sebuah kata yang masih terlalu nyaring terdengar meski terpenjara dalam hati

Rindu....

Tasikmalaya, 19 Maret 2018

Embun pada Tempatnya


Ada kalanya malam terasa abadi, tak kunjung kutemui pagi. Indah bulan yang ilusi, kedip bintang yang terlalu jauh, angin yang sesak, pertanyaan yang hanya dijawab sepi, dan terjawab bancet. Itulah malam

Kehidupan adalah malam hari yang demikian. Matahari kan terasa cepat muncul bagi mereka yang tertidur nyenyak. Simpan dulu semua pertanyaan dan tidurlah.

Tapi nyatanya insomnia terus menghantui, menyiksa pikiran dan fisik. Menunggu matahari yang tak kian muncul. Menunggu embun pertama di atas daun.



Ceriwis-Keputusan Tepat

Ceriwis-Keputusan Tepat

Keputusan Tepat?
Hasil gambar untuk keputusan tepat
problem solving

Hari ini pertama kalinya aku mencoba hal baru. Entah beresiko atau tidak—semoga Allah menjauhkan saya dari segala perbuatan keji dan mungkar.
            Semoga terjadi hal yang baik
            Sudah tepat
            Jangan menyesal
            Jalani saja
            Lupakan
            Dan berdoalah
            Allah yang menentukan, manusia hanya berfirasat saja.

            

Ceriwis-Sore dicium Hujan

Sore dicium Hujan

Berapa juta kubik air yang turun, berapa banyak doa yang meluncur. Sore pada setiap sore selalu mampir ke POM Bensin RE Martadinata Tasikmalaya. Senyum si penjaga toilet terhalang oleh gerimis dari kejauhan, Sore masih bisa melihatnya.

            Sekitar 10 menit Sore keluar. Harusnya 2 ribu, ia punya sepuluh ribu. Penjaga Toilet mengambil kembalian dari dalam kotak. Gerimis semakin deras. Sore berlari kecil ke arah masjid di samping toilet. Di sana ada kesempatan; solat dan menulis.
            Di teras masjid ada sekitar 4 orang yang tertahan oleh hujan. Motor dibiarkan dicium hujan begitu saja. Di sudut kanan seorang bapak berusia 40-an larut oleh androidnya. Tak lama muncul anak kecil berambut keriwil bersama ibunya yang dijemput sang ayah dengan payung merah menuju avanza. Di tepi teras ada sepasang mahasiswa yang ikut membuka laptop mereka setelah Sore sejak beberapa menit lalu mulai menulis menggunakan laptop.
            Gerimis tak kunjung reda. Haruskah hujan menciumi Sore pada sore itu? Menunggu bisa menjadi hal buruk untuk siapa saja, apalagi menunggu hujan yang tak tahu kapan hilang? Langit pun tak sedikit pun memberi pesan akan segera mengusir awan. Sore pada sore itu ingin memastikan menunggu adalah sebuah kesempatan. Jika hanya menunggu sambil sibuk melirik jam, tentu Sore akan kesal.
            Sejak tadi Sore terdiam pada sore yang sepi, dingin dan basah. Sore ingin pulang tanpa diciumi hujan.

Tasikmalaya, 2 Pebuari 2018

            

Ceriwis-Kartu Kuning Pak Jokowi dari Zaadit

Kartu Kuning Pak Jokowi dari Zaadit

Baru jam dua dinihari. Saya cek dulu handphone, wah twitter masih ramai gara-gara kartu kuningnya ketua BEM UI—Zaadit Taqwa. Lak-laki berbatik merah dengan perawakan gempal ini berdiri tak gentar di garda terdepan sembari mengacungkan sebuah kartu kuning pada Presiden Jokowi layaknya wasit.

            Ada apakah dengan Jokowi? Saya tidak pernah benar-benar tahu sebenarnya bagaimana aslinya presiden negara Indonesia tersebut? Yang diketaui ya dia seorang presiden yang katanya humble dan beprestasi semasa menjabat walikota Solo.
            Lalu faedahnya apa ngasih kartu kuning buat Jokowi? Namun kartu tersebut bukan kartu sehat, kartu pintar, kartu ATM, apalagi kartu kredit. Bisa saja itu kartu yang sudah dicoreti surat cinta layaknya Dilan buat Milea—aku sayang kamu, aku tidak mau kamu lengser begitu saja. Jadi kukartu kuning saja, biar Bapak hati-hati.
            Dengan segala drama yang terjadi selama rezim Jokowi—mungkin saja ini adalah puncak apresiasi dari Zaadit. Kalau saya masih membubuhi kata ‘mungkin saja’ nggak boleh dong menghakimi rezim Jokowi itu penuh drama.
            Dunia ini semakin hari kok semakin blur saja. Kepercayaan sudah terombang-ambing. Ingin bersikap netral tapi selalu berat sebelah—hati mana yang tidak bisa berat? Namanya juga manusia.
            Kemarin saya bertanya pada salah satu temanku, dia mahasiswa UI juga, begini tanyaku; “Kamu dukung siapa nih?”
            Dia,”Nggak. Hahahah. Aneh saja katanya mau janjian ketemuan. Tapi kok presidennya dipermaluin gitu.”
            Ah, mulutmu bilang enggak. Tapi hatimu jelas berat ke siapa. Yasudahlah, saya simpan saja kata-kata itu dalam hati.

Tasikmalaya, 4 Februari 2018

            

Ceriwis-Kamar Maryam

Kamar Maryam


Maryam teman gue sejak SD tahun 2000-2006. Jadi rumahnya, termasuk kamarnya udah jadi ruang cerita gue dengan dia.
            Sekarang 2018. Kamarnya nggak sesederhana dulu. 24 tahun, udah jadi cewek. Dulu masih ingusan. Pasti kamarnya udah jadi cewek juga. Hehe
`seprainya merah polkadot putih, ada hiasan tempelan gambar pot bunga di dinding, grey warna dindingnya, selempang wisuda digantung di sudut. Maryam juga sering terima hadiah-hadiah dari kenalannya. Maklum dia cantik jadi banyak yang suka. Beda sama gue. :’D
            Hadiah-hadiah itu kebanyakan boneka dan bunga kertas. Dia pajang di rak dinding. Kalau malam kamarnya itu semriwing ada lampu tumblr kerla-kerlip. Sengaja ketika mau tidur lampu kamar dipadamin, biar selasa liat bintang dari kedipan lampu tumblr. Gue nulisnya benar nggak sih? Tumblr atau tumblir?
            Nggak boleh ada semut di kamarnya. Dia nggak suka ada makanan manis tumpah, remah-remah juga dilarang. Biar nggak ada semut bertamu. Kalau jodoh boleh. Hahah
            Dia suka hal-hal simpel tapi berwarna. Kamarnya udah nunjukin itu kok. Orangnya awet, nggak kayak gue—mudah lupa.

            Sekian. Bingung mau nulis apa lagi. Mau dua halaman, tapi kata-kata mentok sampai sini saja.

Review Film Dilan 1990 (Dilanku yang Tertinggal di Hati)

Review Film Dilan 1990
(Dilanku yang Tertinggal di Hati)


Dilan, masanya sudah berlalu bagiku. Tapi namamu tertancap di hati. Beuh. :’D
Dilan 1990 jelas setting tahun generasi 90-an ini menceritakan romansa masa SMA di kota Bandung. Kalau hari ini kan mau ngegebet orang serba gampang, bisa facebook-an tapi udah kuno sih, orang-orang pindah ke IG—buat unjuk juara Ketampanan yang paling banyak filternya, bisa via WA juga, gampanglah tinggal chit-chat gretong, nelepon juga cetek. Mau di ngegombal di atas genteng sekalipun bisa!

            Tapi Dilan? Tahun segitu tuh dia mesti punya telepon rumah, dan hanya orang-orang mampu saja yang bisa pasang pesawat telepon pada masanya itu. Dilan sih biasanya pakai telepon umum—Cuma pakai koin.

            Dilan diperankan oleh Iqbal mantan member Coboy Junior. Jujur, awalnya gue gak terima masa Dilan bocah ingusan sih? (gue lupa umur gue bukan SMA lagi makannya protes). Tapi langsung jilat ludah sendiri deh, pas Iqbal tiba-tiba disulap jadi Dilan. Tingkat kegantengannnya naik 1000%. Lebay gak sih gue?
            Entah ini aura Dilan atau aura Iqbal, yang penting bukan Aura Kasih. :’D Gila-gila gue baper parah. Seisi studio cengcengsan tahu nggak sih. Jerit-jerti kek mereka yang jadi milea. Padahal Milea biasa aja. Sumpah, ya, gombalan, tatapan, kelakuan Dilan nojos banget ke hati.

            Bang Pidi sukses besar telah men-Dilan-kan Iqbal. Manis banget senyumnya, nggak kuat.
            Milea juga kerenlah. Tapi fokus gue Cuma ke Dilan sih jadi nggak terlalu meng-wow-kan Milea.
            Di balik keajaiban pemeran karakter-karakter film Dilan 1990. Settingan 90-annya masih kurang. Efek cinematography-nya juga masih keliatan kekinian. Tapi overall gue suka.

            Gue kangen gombalan Dilan, senyum Dilan, tatapan Dilan, marahnya Dilan, cemburunya Dilan, bisikan Dilan. Aaaakk pengin nonton lagi.

            Dilan... aku rindu. Tapi berat. Kenapa nggak kamu aja yang rindu aku? Wkwkkwkwk


Ceriwis-Nge-Wifi Corner

Nge-Wifi Corner
Telkom Tasikmalaya


Malam minggu. Kalau enggak diapelin pasti ngapelin. Gue? Ngapelin wifi corner aja bareng sobat—Maryam. Dulu gue sempet norak juga pas tahu ada wifi corner. Eeee gila buseet, Tasik udah kekinian. Ada tempat nongkrong anak muda. Sebenarnya enggak tepat juga sih disebut tempat nongki.
wifi corner
Namanya wifi corner ya pastinya multifaedah. Ada yang datang buat ngerjain tugas kelompok, ada yang download film, ada yang iseng, ada yang bosen hidup, ada-ada aja. Nah begitulah.
Sekarang pukul 20:22 WIB. Duduk di pojokan berhadapan sama abang? Akang? Emas? Pake kacamata, switer? Eh  switer atau sweater atau sweeter sih? Bodo ah. Mukanya tua. Hidungnya gede dan lurus.5 menit yang lalu dia bilang gini, “Boleh duduk di sini?” nunjuk kursi depan gue.
“Mangga,” gue bilang gitu.
            Terus di samping gue ada Maryam. Udah hampir sejam LK21 mainin hatinya. Petunjuknya sih DOWNLOAD tapi yang keluar situs setan. Gue bilang, “Cobain di situs lain.”
            Sekarang lagi ngetik nih judulnya nge-wifi corner. Ya, emang lagi di sini jalan merdeka lokasi kantor Telkom Tasikmalaya, depannya gedung pendopo, sampingnya gedung juang. 98 % penikmat wifi corner adalah cowok, 2%-nya gue sama Maryam.
            Nggak malu?
            Ya nggak lah! Kan gue pake baju, kalau telanjang sih iya gue malu.
            Haus. Mau manggil si Aa konter makanan tapi malu. Gue mau minum. Udah dulu, ya.

Tasikmalaya, 27 Januari 2018