My Books

My Books
Araska Publisher, 2014. Ellunar, 2014, 2015, 2015.
I LOVE KAMPUS FIKSI - #KAMPUSFIKSI12

Jurnal Tujuh Oktober Dua Ribu Delapan Belas


Bismillahirrahmanirrahim,
Insya Allah, dalam setiap pertemuan pasti ada efek dan tujuan yang terjadi masing-masing dari kita.
Dan tinggal bertafakur saja, apa hikmah yang kamu ambil?

Tadinya aku sudah planning mau bikin jurnal dalam video, tapi entah karena too excited jadi lupa lah. Setidaknya masih hangat buat ditulis makanya aku posting saja dalam blog ini.

6-7 Oktober 2018, itu perjalanan yang amat singkat. Aku harus mampu mengatur waktu, dan menetapkan tujuan apa sebenarnya ke Jakarta? Awalnya, aku niatkan buat fest readers, karena Fadhil sudah datang duluan, dan responnya mengecewakan, dia sempat pesimis dan memintaku buat nggak usah datang. Hei! Speechles lah aku. Udah berkaca-kaca. Masa nggak jadi? Masa sih? Kok gitu.

Oke, aku perbaiki niatku. Aku nggak mau jauh-jauh datang ke Jakarta dan kecewa gitu aja hanya karena Fest Readersnya nggak oke tapi mengabaikan dengan siapa kamu bertemu. Tentu, aku bakal senang banget kalau ketemu Rahmat Fadhilah. Orang yang tiga tahun lalu pertama kali kujumpai di Yogya. Kapan lagi coba aku bisa ketemu dia? Kapan lagi?!

Di Yogya, kami nggak sempat banyak ngobrol, fokus pelatihan. Dan, aku juga belum terlalu mengenal dia. Yo wes, apa pun yang terjadi aku tetap pergi. Satu hal yang kusyukuri, kami sama-sama demen ke Gramedia. Tapi jujur aja, sebelum berangkat aku cemas, gimana kalau awkward? Aduh, nggak kebayang. Awkward ama orang itu jadi ntarnya bingung mau ngobrol apa.

Ahad, 7 Oktober 2018
Aku udah sampai Stasiun Senin pukul 5:30. Kereta ngaret! Harusnya nyampe jam 4 subuh, ya terpaksa aku solat sambil duduk di kereta. Aku ketemu Santi dan samperin ke kostan, kebetulan dekat dengan Monas. Ya, pergi dong ke sana! Aku nggak pernah pergi ke sana. T.T Alhamdulillah, meskipun kita berbeda agama, dia welcome banget. Banget. Banget! Dia usianya lebih muda 3 tahun dariku, tapi aku have fun n enjoy.

Pukul 09:00 aku berpisah dengan Santi di Monas. Dan bertolak ke Stasiun Gondangdia. Aku inget betul harus ke mana kalau mau ke Cilandak, Fadhil bilang lewat Gondangdia. Itu pengalaman pertamaku naik KRL sendirian! Untung lagi sepi, jadi aku bisa duduk. Sepanjang jalan, aku melototin rute KRL, takut kelewat. Ternyata cukup cepat dan hemat juga. Alhamdulillah aku sampe Stasiun Tanjung Barat pukul 10:30 WIB. Tapi? Tapi darisanalah aku merasa ugh... mood-ku rusak, dan ampe nangis beberapa menit.

Ya Allah, jauh-jauh ke Cilandak, pake KRL, gojek, ternyata? Ternyata aku lupa sebelah mana. Dan menguji iman banget pas sanak saudara ampe Bapak nggak ada yang bisa dihubungi. Udah jalan sana-sini ampe kaki lecet, dan akhirnya aku duduk di warung. Bingung... meski ke mana. Masih pukul 11:30 WIB. Sementara jadwal ketemu Fadhil pukul 14:00 WIB. Aku diem di warung itu sambil cek ongkir gojek ke Tj. Barat, dan gila aku harus balik lagi? Ah, aku geleng-geleng kepala. Udah , lelah, udah pusing kepanasan.

Kembali ke Stasiun Tanjung Barat, berharap tiduran di mushola. Udah itu aja yang kuperluin waktu itu. Dan, pas ke loket, aku lupa! Iya aku mesti tahu tiket apa yang harus kubeli. Astaga! Aku nanya Fadhil, dan dia bilang ke Jakarta Kota. Dan aku curhat bla bla bla. Dia bilang nyuruh aku nunggu di Manggarai aja. Buset, aku merasa terombang-ambing. Justru aku habis lewat sana, Dil. Dan aku harus balik lagi ke Manggarai. Sumpah, aku kesel banget bukan karena Fadhil, tapi karena gara-gara nggak nemu rumah uwa.

Di bangku stasiun Tj. Barat, eh aku diem-diem nangis sendiri. Merasa waktuku terbuang sia-sia buat bolak-balik, tapi tafakur lagi, kembali tafakur lagi. Pasti Allah punya tujuan kenapa aku harus mengalami ini. Setidaknya aku bisa tahu rute KRL, aku bisa belajar nahan emosi, bisa memakai waktu menunggu dengan mengaji lebih banyak. 

Pukul 14:00 aku naik KRL menuju Manggarai. Kereta padat banget, waktu itu Fadhil ada nge-WA, “Mbak Aman?” Aku sungguh lagi bad mood, jadi hanya foto pantat orang aja. Sampai Manggarai, sekitar pukul 14:30 WIB, belum solat dzuhur sama sekali. Setelah selesai Jamak, aku mutusin buat nunggu kabar Fadhil di sana. Dan, aku percaya setiap hal yang terjadi pasti Allah punya tujuan dan kebaikan. Aku nunggu Fadhil sambil tilawah lagi, aku nggak mau pas ketemu dia mood-ku buruk.
Alhamdulillah, pukul 15:30 Fadhil ngasih kabar. Senang bukan main dong! Jujur saja, aku nggak enak sama dia. Aku tahu pasti dia cape, aku tahu malamnya dia punya tugas. Dan gara-gara aku tugasnya harus dikerjakan malam suntuk. Deg-degan juga ketemu Fadhil. Bedanya sekarang udah dewasa, aku lihat dia sih, tapi aku masih diem di deket Alfamart, aku bingung harus menyapa kayak gimana.

“Fadhil!” Aku lupa-lupa ingat, rasanya aku teriak gitu. Ya Allah, Fadhil nggak berubah. Intonasi suaranya masih tetap rendah. Aku kira berubah gimana!

Masya Allah, semua mood jelek itu hilang, dan kekhawatiran itu hilang. Entah kenapa nggak kerasa awkward meskipun udah lama nggak ketemu. Ya dulu ketemu pun  sebagai orang asing. Dan, sekarang beda ceritanya.

Kami banyak ngobrol di kereta, apa aja. Apa aja, dan nggak kerasa garing. Terus ke kota tua, dan aku nggak kecewa kok. Kapan lagi aku bisa ke sana? Terus lihat orang-orang berderet-deretan di kota tua, jalan kaki ke sana sama temen yaitu Fadhil. Kapan lagi? Tapi aku lupa ya, besoknya dia punya tugas.
Oh, ya, Fadhil itu orangnya gigih dan nggak nyerah. Kelihatannya gini: pas naik KRL yang mau ke Matraman itu, dia kukuh pengin nyari kursi kosong ampe lewat beberapa gerbong. Ampe mentok, dia ngajak pindah gerbong. Nah, itu! Yang paling berkesan. Crazy! Tapi Fadhil yakin banget jawabnya. Okelah, aku pegang tas dia, nggak mau ketinggalan. Fantasinya menyenangkan banget! Lain kali aku pengin ngelakuin hal itu lagi.

Setelah sampai Matraman, kita makan. Nah, di sini kami punya hal kontras. Dia suka teh manis, tapi digulain lagi. Aku nggak suka teh manis yang terlalu manis. Terus dia makan pun rapi banget, cabenya dia pisahin dulu, terus dia makan nasinya ampe bersih. Aku? Random banget dah.

Ada pertanyaan Fadhil yang paling membekas sampe sekarang, “Mbak nggak mau tahfidzan lagi?” Gimana ya? Aku tahun lalu udah berusaha, tapi ya ambyar lagi. Buat hafalan quran aku nggak boleh dengar musik, nggal boleh nonton film sembarangan, pokoknya harus steril biar hafalanku kuat.

Tapi pertanyaan Fadhil itu bikin aku tergerak lagi. Entah kenapa aku pengin lagi ngumpulin semua hafalanku, berapa pun ayat yang bisa kutampung, aku mau coba. Aku mau coba! Dan! Di sinilah rasanya tujuan terbesar Allah pertemuin aku dengan Fadhil kembali.

Aku mau hafalan quran lagi. Semoga istiqamah. Terima kasih Fadhil. Sampai ketemu lagi nanti.... JJ

Btw, Maafin aku, ya, Dil. Secara tidak langsung gara-gara kamu pulang jam 10-an, tugasmu terbengkalai.