Chapter 1 : Kyuhyun’s Point of View
Penulis : Vina Syahidah
Genre : Remaja, Romance,
—Asrama Schrodinger’s House, Winchester,
Inggris.
Dia sangat membenci laki-laki itu, laki-laki
pemilik julukan Si Jenius. Aku tidak tahu dari mana semuanya berawal. Aku hanya
pendatang baru di asrama ini, tak banyak yang kutahu—selain masalah dia dan Si
Jenius itu.
Dia, sebut saja Hyomi, Lee Hyomi. Gadis yang tak
pernah rela gelar nomor satunya jatuh ke tangan Kim Kibum—Si Jenius. Meski
terkenal dengan kecerdasannya, hal itu bukan berarti Hyomi adalah gambaran
gadis berkacamata tebal dengan buku yang tak kalah tebal. Tidak. Dia tidak
seperti itu. Dia justru lebih terkesan seenaknya.
Lee Hyomi, rambutnya yang sebahu ia warnai
pirang, di telinganya tak hanya terdapat satu tindikan, ada dua—bahkan lebih,
lingkar di bawah matanya dapat kulihat kala ia berusaha keras untuk belajar
demi mengambil kembali gelarnya sebagai nomor satu di asrama. Ia menghabiskan
malam dengan melahap berbagai macam buku. Kupikir, akan sangat pantas apabila
kusebut ia dengan julukan Ratu Ambisius.
Ambisinya terkadang membuat gadis itu terlihat
begitu menyedihkan.
Aku bukan anak yang rajin seperti teman satu
kamarku—Kim Kibum. Aku lebih senang menghabiskan waktu dengan memainkan
berbagai macam permainan dalam PSP-ku. Akan tetapi, suatu keberuntungan besar
karena aku tak pernah terkalahkan sebagai Si Nomor Tiga. Selama aku masuk di
asrama ini—tepatnya dua tahun lalu, posisiku tak pernah bergeser. Aku bukanlah
Hyomi si ambisius itu, aku tak peduli dengan sebuah gelar nomor satu.
Aku adalah aku. Cho Kyuhyun yang cukup jenius
untuk mempertahankan posisinya di nomor tiga tanpa mengurangi waktu bermain
PSP. Aku hanya akan belajar jika aku ingin.
Suatu hari, aku pernah bertanya pada Kibum. Apa
alasannya bersikeras tidak mau mengalah pada Hyomi yang sudah sangat membencinya
itu. Aku tidak mengerti jalan pikiran laki-laki meski aku sendiri laki-laki,
Kibum menjawab bahwa ia senang menunggu Hyomi terus mengejarnya—mengejar gelar
nomor satu miliknya.
Kim Kibum mengatakan bahwa ia merasa bahagia.
Aku tidak mengerti ketika ia mengatakan ada jutaan kupu-kupu yang menggelitik
perutnya ketika ia melihat Hyomi terjatuh, merangkak, tertatih, dan berlari
lagi. Hyomi melakukan itu hanya untuk mencapai satu tujuan. Menggapai
dirinya—menggapai Kim Kibum.
Baru aku tahu beberapa hari kemudian bahwa
sebenarnya teman satu kamarku itu menyimpan perasaan pada Si Ratu Ambisius. Aku
ingin menertawainya, sungguh. Kupikir dia Si Jenius yang terlalu bodoh untuk
berkata jujur. Kibum mengakui satu hal yang aneh padaku, dia bilang, semakin
dia menyukai gadis itu, semakin ia ingin membuatnya terjatuh dan terlihat
lemah. Alasannya? Agar dia menjadi satu-satunya laki-laki yang terlihat kuat
bagi gadis yang disukainya.
Aneh? Ya. Jangan tanyakan padaku kenapa
pemikiran bodoh itu keluar dari otak jeniusnya. Aku bukan dia.
Sebenarnya aku pun tak kalah bodoh dari Kibum.
Dalam hati aku menertawakan tindakan bodoh Kibum yang memilih jalan seperti itu
untuk meraih hati Hyomi, namun sesungguhnya aku sendiri menyukai gadis itu.
Kebodohanku adalah tidak melakukan tindakan apapun. Sedikit pun.
Kupikir aku lebih terlihat menyedihkan daripada Lee Hyomi yang terus
mengejar gelar dengan ambisi bodohnya. Melihat ia terjatuh dan berusaha untuk
bangkit dan berlari lagi semakin membuatku mengagumi sosoknya. Tak peduli emosinya
yang meluap-luap itu.
*****
‘Klak’
Suara cokelat batangan yang ia patahkan dengan
giginya terdengar sampai ke telingaku. Akhir-akhir ini Si Ratu Ambisius itu
sering terlihat menikmati cokelat. Aku tidak tahu alasannya. Kudengar, cokelat
bisa memperlambat penuaan—tapi aku yakin bukan itu alasannya memakan cokelat.
Mungkin ia hanya ingin meredam keresahan hatinya dengan makanan manis itu.
Aku melihatnya di ujung lorong tak jauh dari
tempatku berdiri. Ia melangkah bersama teman satu kamarnya—yang juga merupakan
saudara kembarnya, Lee Hyojin. Mereka bukan kembar identik. Ketika pertama kali
aku menginjakkan kaki di asrama ini, aku tak pernah berpikir bahwa mereka
adalah saudara kembar, sungguh.
Lee Hyomi berbeda jauh dengan Lee Hyojin. Hyomi
ahli dalam segala jenis pelajaran. IQ-nya pun lebih tinggi dariku. Sedangkan
Hyojin, aku tak yakin akan menceritakan keanehan saudara kembarnya itu. Ia
terkesan kelam. Dan katanya, ia bisa melihat hantu.
Dua gadis itu berhenti di depanku, tidak, kurasa
hanya Hyomi yang berhenti, saudaranya hanya mengikuti. Gadis yang warna
rambutnya terlihat mencolok itu memandangku dengan pandangan penuh intimidasi.
‘Klak’
Sekali lagi, ia mematahkan cokelat batangan
dengan giginya. Ia mengunyahnya seraya memperhatikanku dari bawah sampai atas.
“Kau—“ ia menunjuk wajahku dengan jari telunjuk.
Tidak sopan. “Si Nomor Tiga, katakan pada teman satu kamarmu, aku tidak akan
kalah darinya. Dua minggu lagi akan ada tes ujian, akan kupastikan aku yang
akan menjadi nomor satu.” Ia melanjutkan kalimatnya dengan penuh penekanan.
“Aku mungkin memang Si Nomor Tiga, tapi
kukatakan padamu, sekali lagi. Jangan panggil aku seperti itu.
Namaku Cho Kyuhyun, aku memberitahumu sebagai antisipasi takut kepalamu lupa
dengan namaku,” ujarku sarkastik.
“Shireo. Itu membuat mulutku ingin
muntah ketika mengatakannya. Bagaimana kalau aku mengganti julukanmu itu, hm?
Aku yakin kau merasa terhina dengan julukan Si Nomor Tiga. Menyedihkan.
Bagaimana kalau kupanggil kau dengan sebutan Si Pemuda PSP? Kurasa itu jauh
lebih baik.”
Aku lupa mengatakan hal ini. Lee Hyomi bukan
gadis yang lembut. Dia menyebalkan, sangat. Tapi itulah yang membuatnya
terlihat unik. Ia gadis yang jenius namun terdengar sama sekali tidak
menyekolahkan mulutnya. Ia selalu mengatakan apapun semaunya. Seenaknya.
“Mau kuberitahu sesuatu, nona? Kurasa aku tahu
kenapa selama ini kau selalu menjadi nomor dua. Mulutmu. Kau tidak menjaga
mulutmu. Aku yakin Kibum akan mempertahankan gelar nomor satunya. Ia tidak akan
kalah oleh seorang gadis aneh yang ambisius sepertimu. Baginya, mungkin saja
kau hanya seekor anjing yang beradu balap dengan kuda. Kau akan kalah. Selalu. Selamanya.”
Aku mengatakannya dengan penuh penekanan.
Aku juga lupa mengatakan ini. Hubunganku
dengannya tidak baik. Kami sering kali beradu mulut. Bagiku inilah hal yang
paling menyenangkan tinggal di asrama orang-orang jenius.
“Aku tidak dapat memercayai kata-kata bodoh dari
orang yang bahkan gelarnya berada di bawahku. Aku akan menjadi nomor satu dan
aku yakin itu.” Ia tetap keukeuh. Ia memang seperti itu. Keras kepala.
“Bagaimana kalau aku yang merebut gelar nomor
satu Kibum?”
Tidak. Aku ingin membuang mulutku yang
berani-beraninya mengatakan itu. Aku terus merutuk dalam hati tanpa mengubah
ekspresi wajahku.
“Kau mengalahkan Kibum? Jangan berkhayal. Kau
bahkan tidak bisa mengalahkanku. Jangan membuat lelucon bodoh.”
“Kau mengatakan itu apa karena kau takut?”
Sial. Kenapa mulutku tak bisa kukendalikan?!
“Jangan bercanda. Aku hanya tidak ingin
membuatmu malu. Tidak akan ada yang bisa merubah posisimu di sana. Tidak sama
sekali.”
“Baiklah. Ayo bertaruh! Aku atau kau yang
menjadi nomor satu. Jika aku berhasil, aku boleh meminta satu permintaan apapun
padamu—kau pun begitu.”
Sepertinya aku benar-benar harus membuang
mulutku sejauh mungkin.
Lee Hyomi menarik ujung bibirnya, ia
menyeringai. Dan suara ‘Klak’ kembali terdengar kala ia kembali menggigit
cokelat batangan itu. “Menarik. Tidak sabar rasanya melihatmu
berteriak tanpa sehelai baju. Akan kupastikan kau akan bermimpi buruk selama
kau tinggal di asrama ini.” Ia menyetujui tantangan bodohku. Hyomi melirik ke
arah Hyojin lewat ekor matanya. “Apa yang kau lihat?” tanyanya, sepertinya ia
bertanya pada saudara kembarnya.
“Hanya seonggok makhluk kerdil yang menempeli
kaki kanannya.” Hyojin menjawab dengan wajah menyeramkan. Kaki kanan siapa yang
ia maksud?
“Baiklah, Si Pemuda PSP, persiapkan dirimu
menerima kekalahan dan menanggung malu.” Ia mengatakan itu sambil berlalu.
Aku terpaku. Apa-apaan ini? Bagaimana kalau aku kalah? Kenapa aku mengatakan
hal bodoh?! Rasanya dunia berputar 180 derajat. Aku terjatuh. Aku jatuh
sungguhan. Tersungkur ke lantai dengan kesadaran yang semakin menipis.
Samar-samar kudengar suara tawa mengerikan. Sesosok makhluk kerdil. Di kaki kanan.
Tidak. Tidak. Tidak!
*****