Matahari yang Tergelincir
Alfy
Maghfira
Kicauan
burung menjadi harmoni saat menyambut pagi. Selayaknya ketika kau terbangun
dari mimpi panjangmu semalam—perhatikanlah apa yang berarakan di langit, sinar
apa yang merembet lurus menerobos awan-awan.
Kau merenggangkan otot-otot,
menggeliat, dan menyingsing tirai jendela. Sepasang matamu tidak kuat menahan
serangan fajar, bukan? Kerjapan matamu pun, menjawab bahwa kau tak bisa
menerima sinar mentari yang kebablasan.
Di siang hari, seperti biasanya kau
siap menyibukkan diri, memerah peluh hingga matahari tergelincir beberapa jam
ke depan. Saat jemarimu menjentik urusan-urusan dunia, ego dan mimpi-mimpimu...
kau selalu peduli dengan jarum jam yang bergulir, kau selalu khawatir tak-tik-tuk-tek-tok itu menghabiskan kesempatanmu. Tanpa ingin kau
tengok ada apa di langit?
Hemp... tapi di balik langit... ia
tak pernah sekalipun merasa bosan menyerap sebahagian energinya padamu. Meskipun...
kau sering melupakannya.
Suatu hari kau menggerutu pada rekan
kerjamu. Karena 2 bulan lalu kau baru wisuda, lantas hari itu kau berpikir
seluruh tenagamu tidak pantas lagi membantu pekerjaan rekanmu yang lulusan SMA.
Sering kali kau bersikap seperti seorang psikopat, senyummu tampak di
permukaan, tapi dalam hati.... apa pun berbau keterpaksaan.
Dan rekanmu pun bertanya, “Apa tidak
apa-apa?”
“Saya ikhlas,” begitulah kau
menjawab. Ringan sekali, bukan?
Hingga lusinan kali kau terbiasa
mengatakan itu, semakin hari beranjak, semakin kau tidak bisa melupakan apa-apa
yang sudah kau perbuat untuk semua orang. Tapi ada hal yang sering kau lupakan.
Okelah, mungkin ini sedikit jorok... tapi setiap pagi, saat kau melorotkan
celana lalu bertepekur di atas kloset—membuang seluruh hajatmu, kau siram,
tanpa enggan kau tengok lagi. Itu adalah kepunyaanmu, tapi dengan senang hati
kau lepaskan, bukan?
Siang bolong, tampaknya kau mulai
dilanda kegerahan. Berkali-kali tanganmu kau gunakan sebagai kipas. Dikibas ke
depan-belakang, membuat desauan angin berhamburan ke arahmu. Sejuk, bukan? Hah,
tapi angin memang bisu, dia tak pernah berbisik ke telingamu untuk menuntut
terimakasih. Kau mengernyitkan dahi, merasakan sinar matahari kian memanggang. Kau
pun mengeluh, “Panas sekali.”
Tak lama keluhanmu pun terjawab,
setelah kau tandaskan jentikan jemarimu dari urusan dunia. Hari itu langit
sudah beranjak petang. Di ufuk barat, mentari mulai meredup, mempersilakan
kegelapan merayap. Dia menjawab keluhanmu, bahwa dia ‘kan pergi tapi masih
menitipkan hangat dan cahaya pada bulan di malam hari. Dia datang dan pergi,
tanpa sepatah kata pun padamu.