Resensi
Learning From Butterflies
Sama-sama pintar dan Kuliah di Singapura.
Olga anak fashion management dan Juandra anak
mathematical sciences. Keduanya berjuang untuk meraih impian. Lalu, setelah
serangkaian momen yang tadinya membuar mereka sering bertengkar, saat
itulah the-so-called chemistry
menghampiri.
Sumber : rumahtukangbuku.wordpress.com |
Judul : Learning from Butterflies
Penulis : Ping!! Diva Press
Tahun terbit :
Maret 2015
Tebal hal. :
224 Halaman
Sebenarnya novel yang berarti ‘Belajar
dari Kupu-kupu’ ini bagiku trouble yang dialami pada masing-masing tokoh enggak
terlalu pas jika dibandingkan dengan kepompong. Ini hanya pendapatku saja.
Masalah yang dibahas di sini terlalu klise dan datar-datar saja. Hanya, nilai
plus dari novel yang disajikan oleh Karina Nurherbiyanti yang sukses membuat cerita
mengalir, natural, dan berkali-kali bikin aku ketawa dengan dialog antar
tokoh-nya sehingga aku bisa menikmati cerita sampai akhir.
Diawali dari prolog yang
menceritakan Olga Romala seorang mahasiswi dari Indonesia yang belajar di
LASALLE, Singapura, yang doyan banget
stalking blogger Juandra Bela Bangsa mahasiswa di NTU. Dan kelakuannya itu
sudah tentu diketahui oleh Enggar, yang tak lain teman satu kamar Olga. Well,
dari sana aku mulai menangkap si Olga diam-diam suka sama Juandra. Praktis Juandra
mulai merasa dirinya punya viewers rahasia. Ya, secara pengunjung blog-nya
meningkat drastis.
Bab pembuka menyajikan cerita di
mana Olga suka sama Juandra hanya saja Olga dan Juandra suka banget adu mulut. Tapi...
tapi di sini si Olga digosipin suka sama Darren gara-gara doyan mention nama
Darren di twitter. Hal yang mengganggu di sini, siapa Darren itu? Dan enggak
dijelaskan kenapa Olga suka mention Darren, tapi nyatanya malah membantah
mentah-mentah gosip itu. Plus, di sini juga Olga ingat lagi sama mantan
pacarnya yaitu Alam. Mahasiswa UI jurusan Kedokteran.
Di bab satu aku nemuin dialog yang
enggak nyambung antara Juandra dan Olga.
“Lo
nggak nangis karena Darren udah punya pacar, kan?” tanya Juandra masih dengan
nada meledek. Ia letakkan tangannya di atas bahu Olga.dengan tatapan penuh
empati. “Gue nggak nyangka loe serapuh itu.”
“Nggak,
lah. Gue enggak sedih karena itu, kok. Lagunya mellow banget sih, gue jadi kebawa
suasana.”
“Lo sabuk cokelat, kan?”
Olga mengangguk. “Tapi
gue udah stop judo,kok, pascakelas 3 SMA kemarin karena sibuk persiapan UN.”
“Ya,
lo harusnya sudah melewati tes-tes yang involve air panas dan jalan batu
kerikil, masa cuma denger lagu ginian aja nangis? Gue juga belum punya pacar
kok, nyantai aja kali nggak usah diambil hati.”
(Hal. 20)
Loh,
kok? Kan awalnya si Juandra ledekin Olga gara-gara nangis. Terus Olga jawab
enggak. Tapi sebagai cowok waras, ya, masa sih langsung nanya sabuk judo si
Olga. Kan bingung juga. Tapi setelah si Olga jawab pertanyaan sabuk itu.
Juandra nimpalin jawaban yang seharusnya buat perkataan Olga yang nangis
gara-gara lagu. Apa ini dialog yang tertukar, ya? Hahahah. Aku sempat baca
berkali-kali di sini. Khawatir, aku lagi gagal paham.
Lanjut
ke bab-bab berikutnya, sejujurnya aku suka pendeskripsian setting-nya yang
terasa real. Tapi penulis tampaknya terlalu pendeskripsikan hal-hal yang
menurutku enggak penting dan gak berpengaruh sama jalan cerita. Contoh yang
waktu dialog di Morton SteakHouse, Esplanade. Ada dialog yang waktu pesan steak
tapi bagiku itu terlalu bertele-tele. Ngapain sih dipanjang-panjang gitu? Itu
enggak berhubungan, kan?
Tapi
beberapa ambisi tokoh di sini cukup memberikan pelajaran terhadap para orangtua
yang terlalu mengekang putra-putrinya masuk ke jurusan yang diinginkan. Ya,
biarlah si anak berkreatifitas dengan passion-nya. Toh enggak ada yang sempurna
di dunia ini. Jika para orangtua menuntut standar tinggi pada anak-anaknya
kebanyakan si anak bakal memberontak atau diam di tempat tanpa mau mencari
impiannya.
Dan
aku menilai itu dari masalah Juandra dan Junika yang dituntut tinggi oleh
papa-nya harus serba sempurna di semua mata kuliah/pelajaran.
Lanjut
ke tengah bab, hubungan Olga dan Juandra mulai semakin dekat dan bahkan lebih
terbuka dengan masalah masing-masing. Plus,
kedekatan mereka itu akibat imbas dari niat Salman yang tak lain teman sekamar
Juandra, yang lagi pedekate sama Enggar.
Aku
suka dengan ceritanya yang enggak monoton . Yang enggak berkutat di dua tokoh,
tapi tokoh yang lain juga ikut dan mewarnai kehidupan tokoh utama. Ya, seperti
yang tadi kuceritakan gara-gara si Salman, Juandra dan Olga jadi deket.
Aku
sempat senyam-senyum waktu Juandra yang juga sadar suka sama Olga, hanya saja
dia enggak punya cukup keberanian buat mengungkapkannya. Dia melakukan hal
modus, yaitu ngasih Egg Tart lewat teman Olga. Baik Olga dan Juandara yang
sama-sama suka, tapi tidak pernah mengetahui perasaan satu sama lain. Hingga pada
akhirnya Olga memberanikan diri buat
mengutarakan perasaanya pada Juandra . Tapi Olga merasa minder karena Juandra
adalah cowok yang super pinter yang memenangkan banyak olimpiade. Dibandingkan
dengan Olga yang merasa enggak ada apa-apanya.
Dan
sejak saat itulah Olga dan Juandra pacaran. Disusul sama Salman dan Enggar.
Sebenarnya Enggar sempat suka sama Ridho-saingannya Salman waktu SMA, sekaligus
sepupu-nya Mariska yang tak lain mantan Juandra yang kelakuannya sama kayak Alam,
masih ngebet sama mantan masing-masing.
Di sini
aku enggak cukup puas sama endingnya. Di mana Juandra harus magang di Swiss,
dan terpaksa Olga mau enggak mau mesti melepas dulu sang kekasih selama 4
bulan. Aku meras isi novel ini belum mewakili judul novelnya. It’s my opinion. Catatan, novel ini terlalu banyak dialog yang enggak penting, deskripsi yang bertele-tele, bahasa inggris yang kebanyakan.
NB:
Aku masih belum menemukan apa impian Juandra sebenarnya? Padahal diceritakan
Juandra cinta sama matematika. Tapi kenapa dia merasa enggak nyaman waktu
papa-nya maksa dia masuk Mathematica Science?
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Kepenulisan /
Resensi
dengan judul Resensi Learning from Butterflies - Karina Nurherbiyanti. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://keepmirotic.blogspot.com/2015/08/resensi-learning-from-butterflies.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Alfy Maghfira - Minggu, 16 Agustus 2015
Belum ada komentar untuk "Resensi Learning from Butterflies - Karina Nurherbiyanti"
Posting Komentar