Rye Ditetes Airmata
(Alfy
Maghfira)
Di
belahan bumi utara, tahun 1891, aku masih betah mendiami tanah-tanah yang sudah
berminggu-minggu ini sedikit sekali diciumi heksagonal-heksagonal dari langit,
padahal sekarang musim dingin, tapi kekeringan terus merebut semua musim. Musim
panas yang membakar kulit, musim gugur yang menyesakkan dada dan musim dingin
yang penuh dengan bencana.
Revolusi kekaisaran, pemberontakan, kekejaman
rezim Tsar dan musim yang teramat kejam telah memonopoli kehidupan rakyat Rusia
belahan barat. Bumi yang merindukan tetesan langit ini, menjadi lebih sering
ditetesi derai airmata dan darah.
Tubuhku yang kuning, jika siang malah semakin
kering-kerontang. Meskipun kaki ini semakin berakar untuk terus bertahan hidup,
tapi aku bukanlah objek yang senang untuk dilihat.
Mereka menyebutku bencana, mereka
menyebutku benalu dan ancaman besar. Ya, ini adalah musim dingin yang panjang.
Hanya ada aku dan Rye, bukan gandum, atau buah-buahan lainnya.
Terkadang aku bisa bersyukur jika
mereka sekali-kali menyiramiku dengan ludah yang nyaris kering dari lidah
karena mereka sangat membenciku. Tak terhitung berapa kali tangan kasar
berusaha mencabik-cabikku dari halaman rumah mereka, tapi langit, angin dan
tanah masih memberikanku nyawa untuk hidup di depan para pembenci.
Pada suatu hari di pagi yang disesaki
angin dari arah selatan, salah satu pembenciku berteriak-teriak seperti domba
yang hendak dikuliti hidup-hidup. Ia keluar rumah dengan kedua bola mata hampir
padam, perutnya yang dulu subur kini kerempeng. Ia berjalan sempoyongan sembari
menekuk perutnya dengan sebuah batu besar seukuran kepalanya sendiri.
Dia berteriak, “Rye! Rye!” lalu
berurai airmata. Suaranya pun nyaris seperti siulan burung yang sekarat. Sebut
saja dia Sheva, seorang pemuda Rusia dari belahan barat yang menumpu hidupnya
sebagai petani gandum.
“Belum ada yang membuat Rye!” sahut
Abra yang sedang mengobrak-abrik jerami di halaman rumah Sheva.
Tumpukan
jerami itu biasanya disiapkan untuk menghangatkan ternak-ternak mereka dari musim
dingin. Tapi Abra malah mencincang tumpukan itu lalu menggiringnya ke dapur
untuk diberikan pada ibunya.
Abra
menatap wajah ibunya yang semakin tirus dan mata penuh dengan kilauan. Entah
itu terharu atau tidak, tapi aku mengamatinya dari luar.
“Aku
harap rumput-rumput kering segera berlalu. Aku harap langit pun mau berbaik
hati dengan kita,” gumam Sheva lemas, sembari menatap sendu langit yang begitu
kejam baginya.
“Apa
kau akan terus memusuhi langit? Padahal kita sering menuai gandum milik kita,”
timpal Abra, suaranya masih terdengar cukup kuat untuk 2 hari ke depan. Ia
menghampiri Sheva yang sedang duduk di atas tanah dingin menusuk pantatnya.
Pria
berambut pirang yang ditutupi oleh topinya itu lalu mulai mencabutiku yang
sedang berdiri di sampingnya. Kemudian ia melemparku ke sembarang arah sambil
berkata, “jika mereka tidak ada, musim dingin artinya sudah berlalu. Dan kita
tidak harus makan Rye terus.”
Sebenarnya
Abra menepekuri ucapan Sheva, aku melihat dari sorot matanya yang penuh pertentangan
dengan adiknya, “Kau lupa? Musim yang kejam ini bukan Tuhan yang menciptakan,
bukan pula alam. Seandainya gandum dan seluruh ternak kita tidak dirampas oleh
setan-setan itu, mungkin kita sekarang masih memiliki persediaan makanan di
musim kering yang panjang ini. Tapi... cih!”
“Kau
benar, setan-setan itu terlalu rakus memenuhi perut mereka,” sahut Sheva
sembari menyimpan perlahan batu yang semula menekuk perutnya ke atas tanah.
Suara
laju kereta kuda pun terdengar riuh dari kejauhan. Sheva Dan Abra terlonjak
panik. Mereka saling berpandangan dan menebak pikiran satu sama lain.
“Apa
kau sudah menyembunyikannya?” tanya Sheva.
“Aku
memberikannya pada Ibu dengan jerami tadi.”
Aura
malapetaka dirasa semakin kuat. Lantas Abra menatap rumah yang di atasnya
terdapat cerobong asap. Pertanda sarapan akan segera terhidang. Aroma asap yang
mengelun di udara bagi Abra sesedap roti pastry di tahun lalu. Aku berharap
aroma itu bisa tercium oleh para penarik kereta kuda itu dan mampu merasakan
betapa lezatnya masakan di musim dingin yang panjang ini.
Makanan
di musim dingin yang panjang ini selalu membuat Sheva dan Abra berbicara, “Kuharap
besok kita masih tetap hidup.”
Aku
mendengar suara kaki kuda itu mulai semakin dekat. Orang-orang yang menungganginya bertopi fedora, badannya
dilapisi jas hitam yang terjuntai hingga lutut, serta pangkal bibir mereka yang
ditumbuhi kumis pun tampak tidak menawan karena kebrutalan mereka melebihi
lintah penghisap darah.
Sheva
dan Abra masih dikatakan beruntung. Kemarin aku melihat orang-orang berkuda itu
memporak-porandakan sebuah keluarga karena ketahuan menyembunyikan sekepal
gandum yang seharusnya disita oleh pemerintah untuk terus diekspor ke negara
lain. Miris.
Orang-orang
berkuda itu adalah suruhan pemerintah Rusia yang sedang berkeliling mencurigai
setiap rumah yang dilaporkan mencuri gandum. Sheva dan Abra juga tak luput dari
kecurigaan itu. Aku mendengar erangan Sheva saat orang-orang kejam itu
membidikkan pistol ke kepalanya sebagai taruhan jika sampai ditemukan gandum
dalam rumah keluarga Sheva.
“Geledah
rumah ini!” teriak sang komandan yang masih garang membidikkan pistol.
Ibu
dari kedua pria tersebut terdengar memekik histeris. Aku membayangkan wanita
paruh baya yang tadinya sedang mengadon Rye di dapur harus diseret paksa oleh
para lintah itu. Semua orang yang berada di desa ini hanya menatap nanar tindak
kekerasan itu.
Tak
ada yang mampu bersuara untuk protes sedikit pun, mendadak desa ini seperti
dihuni oleh benda-benda mati dan benda-benda tak bersuara sepertiku. Hanya menjadi
saksi bisu sejarah. Mungkin hanya angin saja yang mampu menyebarkan peristiwa
ini hingga terendus ke masa depan.
“Apa
yang kalian masak?!” tanya pria garang yang sedang menjambak Ibu Sheva.
Ibu
Sheva tak mampu berbicara, suaranya tercekat oleh ketakutan yang tergolek di
hati. Tapi Sheva yang berada di ujung kematian lantas menimpalinya dengan
sisa-sisa suara yang nyaris habis, “Ry-Rye... kami hanya makan Rye.”
“Kumohon
lepaskan adikku. Kami sama sekali tidak menyembunyikan gandum atau ternak di
sini. Tidak ada yang tersisa!” Abra berbicara gelisah.
Para
pesuruh kaisar itu lantas mengerutkan keningnya tentang makanan yang
disebut-sebut.
“Apa
Rye itu?”
“Roti...
Roti Rye.” Aku melihat pijar bola mata Abra penuh kebencian, penderitaan dan
dendam saat menyebut makanan yang sudah menemani mereka selama berhari-hari.
Hanya
saja keberuntungan selalu menyertai mereka setelah memakan itu. Berbeda dengan tetangga
mereka. Wajahnya lekas membiru dan mulutnya berbusa memuntahkan seluruh
penderitaan yang ditahan perut mereka.
Ibu
Sheva segera berlari ke dapur. Aku mengamati dengan setia bagaimana langkah
kakinya begitu kuat seolah ada sesuatu yang membuatnya semangat untuk memulai
pertarungan hidup. Ia kembali lagi keluar dengan senampan roti Rye. Bentuknya
sekepal tangan warna kuning kehitaman.
Salah
satu dari komplotan lintah penghisap itu terpaksa harus mencicipi roti Rye yang
bagiku dipandang saja sudah sangat memuakkan. Satu gigitan, memastikan tidak
ada gandum dan tidak ada kebohongan dari keluarga Sheva.
Setiap
hari aku melihat bahan-bahan roti Rye digiring ke dapur, Sheva yang
mencabutiku, mencabuti semak-semak, lalu mengeruk pasir; sedangkan Abra
menyediakan jerami dan batang pohon yang sudah dicincang; dan ibu mereka yang
mencampurkannya dengan air dan sisa-sisa gandum yang dimiliki.
Sebenarnya
aku heran melihat ibu Sheva tiba-tiba saja tersenyum tipis penuh kemenangan
setelah melihat roti Rye yang dibuatnya ditelan oleh mafia itu.
“Aku
tidak bisa merasakan gandum apa pun. Arghh... makanan apa ini?!! Rasanya perut
dan tenggorokanku terbakar, Tuan!!” pekiknya sembari mencengkeram perutnya.
“Bunuh
mereka!!!” teriak sang komandan yang sedari tadi menodong pistol ke kepala
Sheva.
Menjadi
rumput pun, aku masih bisa merasakan rasanya nyawa mereka segera terangkat
setelah aba-aba mengerikan itu. Ibu Sheva hanya tertawa penuh kemenangan. Sepasang
matanya nyalang bak seekor babi hutan yang siap membalas anjing-anjing kaisar
itu.
“Bunuh
saja kami! Kami tidak takut dengan kaisar bodoh kalian! Untuk apa kami hidup
sementara keadilan terus kalian hisap?! Kami kaya tapi kalian merampas
segalanya!” wanita itu berteriak kembali, memancing senapan segera melesakkan
pelurunya.
Dor!!!
Darah
segar terpancar kuat pada tubuhku saat peluru melesat ke dalam tempurung anak
wanita itu. Sheva! Tubuhku yang tak bertulang hanya disangga batang kecil dan
lenganku yang berupa helaian daun tipis hanya mampu menumpu tubuh Sheva hingga
terkulai ke atas tanah.
“Sheva!!!”
teriak Abra dan ibunya. Airmata mereka mulai menjala ke seluruh ruang pipi.
Termasuk aku yang hanya bisa melambai lemah, menari dalam kesedihan bersama
angin di pagi yang kering ini.
Satu
roh berhasil tertanggal dari tubuhnya. Ibu Sheva terus membelai kepala putranya
yang berbau amis bersimbah darah. Wanita itu tersenyum getir dan berbisik
seperti ini, “Kau selalu mengeluh saat memakan roti Rye itu. Kau bilang
pencernaanmu sakit, kan? Kau bilang sudah tidak tahan, kan? Maafkan Ibu, Nak.
Lebih baik kau mati saja daripada kau harus menderita memakan roti kelaparan
itu. Roti Rye yang sering kubuat.”
Rusia
1891 memiliki dua spektrum yang berbeda, kemajuan industri besar-besaran dan di
spektrum lain terjadinya wabah kelaparan. Dan aku adalah saksi bisu hari ini.
Roti Rye yang penuh kenangan dan airmata. []