Home »
Arsip Untuk Juli 2017
|
tribunjabar.com |
|
cosmosgirl.com |
Saat
melihat helm dan jaket hijau tiba-tiba berkeliaran di ruas jalan kota membuat
perasaan saya senang. Berada di posisi sebagai konsumen tentu saya menyambut
baik adanya tambahan fasilitas kendaraan umum—mengingat selama ini angkutan
umum dikeluhkan dengan rute yang cukup memutar, menghabiskan waktu, terkadang
susah untuk didapatkan di tempat-tempat tertentu ditambah dengan kapasitas
waktu yang terbatas.
Gojek muncul sebagai solusi keluhan
tersebut. Ada kalimat klise yang sering terumbar gugur satu tumbuh ber-jemaah. Dengan kata lain ada satu pihak
yang merasa dirugikan akibat kehadiran gojek di tengah hiruk-pikuk persaingan
tukang angkot. Kali ini keluhan muncul dari supir angkot—dampaknya penumpang
lebih memilih naik gojek ketimbang angkutan—termasuk saya. Hehehe
Lalu bagaimana solusinya?
Membahas cerita tadi siang bersama
Bos ditempat kerja soal Demo Supir Angkot didramatisir dengan adanya mogok ngangkot
membuat hati saya sedikit tersentil. Serba salah juga sih ya, di sisi lain saya
sebagai konsumen merasa keberatan jika gojek harus dimusnahkan dari daratan
Kota Tasikmalaya.
Membaca sebuah artikel berita dari
Liputan6.com “Demonstran Segel Kantor Ojek Online di Tasikmalaya”. Gedung DPRD
Kota Tasikmalaya, diserbu ribuan angkutan, bahkan tukang becak dan ojek lokal
pun turut serta. Bukan main! Mari kita tepuk tangan atas sistem demokrasi hari
ini. Tak tanggung-tanggung kantor Gojek pun ikut diserbu dan diminta untuk
segera berhenti.
Hem... jadi panjang masalahnya. Masalahnya
begini... Gojek tidak fleksibel jika beroperasi di kota kecil sejenis
Tasikmalaya. Kecil... ya hemp. Begitulah.
Dan solusi pemerintah apa?
Menghidupkan satu sisi dan mematikan sisi lain. Selalu seperti itu solusinya. Saya
tidak tahu ini salah siapa. Apa alasan konsumen berpindah haluan dari angkut ke
Gojek? Dari sini sudah terlihat sistem usang sudah tidak bisa terus dipakai
jika ingin dilirik penumpang.
Gojek memberikan terobosan baru di
mana orang tidak perlu merasa cemas terlambat saat akan masuk kerja, sekolah
atau pulang dari urusan. Seandainya negeri ini memiliki jiwa intropeksi yang
tinggi, maksud saya sadar diri. Apa kesalahan kita selama ini?Apa kesalahan
sistem transportasi umum negara ini sampai saling senggol-bacok?
Bagi saya mematikan satu sisi
tetaplah tidak adil.
Entah
kenapa kredibilitas Wali Kota Tasikmalaya hari ini rasanya mulai saya
pertanyakan—simak di artikel selanjutnya.
Resensi
Pemilin Kematian
|
sumber: pelangisastramalang.org |
Judul : Pemilin Kematian (Cerpen)
Penulis : Dwi Ratih Ramadhany
Genre : Sastra
Penerbit : Pelangi Sastra
Tahun : 2017, Ceatakan Pertama
ISBN : 978-602-74629-5-3
Cuplikan
Ia menukarnya dengan Pak RT. Ia
sangat terobsesi dengan kematian suaminya. Mungkin karena iming-iming.
[Hal. 7]
***
Pemilin
Kematian adalah kumpulan cerpen yang sudah pernah diterbitkan di media massa terkenal seperti kompas, Radar
Malang dan media massa setempat, juga beberapa cerpen merupakan jawara dari kompetisi
menulis. Judul utama dari kumcer ini
diambil dari salah satu cerpen yang sudah tembus KOMPAS pada tanggal 8 Desember
2018—tentunya satu judul tersebut mewakili isi semua cerpen.
Sejujurnya saya tidak berhak untuk
mengomentari mahakarya milik Ratih karena jelas saya bukan penggila sastra—tapi
karena seorang kawan menghadiahi buku ini. Ini adalah buku sastra kedua yang
tuntas kubaca.
Maka tak layak rasanya saya menyebut
kumcer ini membosakan—karena ini masalah selera. Tapi ada beberapa cerpen yang cukup
membuat saya terpikat seperti; Janda Sungai Gayam, Malam Merah Ibu.
Ada satu hal yang kutangkap, sebagian besar cerpen Ratih memiliki pokok cerita atau pola cerita yang hampir sama. Saya
bingung menjelaskannya---semoga saja pendapat saya keliru dan mungkin pemahaman
saya terlalu dangkal sehingga belum mampu mencerna maksud dari pesan-pesan
moral yang tersirat di sana.
[D-2]
Mencari
Filosofi Teratai
|
sumber: mercubuanaraya.com |
Sehabis
mengantar ibu, sebelum sampai rumah—mataku tertuju pada kolam depan rumah
tetangga. Kolamnya keruh, gelap, tentu gelap karena daerah sana kurang
penerangan juga diriuhi pepohonan dan langit tak berbintang. Ada yang mekar di
atas air, tapi warnanya tak menyembul ke permukaan.
Keningku berkerut—bunga itu tampak
berbeda dan aku tahu namanya teratai. Dia tak perlu cahaya untuk melebarkan
kelopak, tapi dia malu saat cahaya menyapanya.
Ah, akhirnya aku menemukan
filosofinya. Padahal sepanjang waktu—belum kunjung didapat. Aku tidak mau
melanjutkan cerita ini menjadi seperti diary.
Karena aku hanya ingin bercerita tentang teratai yang kulihat di malam hari.
Barangkali—menjadi unik adalah hal
yang sangat menarik. Menjadi berbeda adalah hal yang langka. Dan menjadi diri
sendiri adalah hal yang tak bisa ditemukan dari orang lain. Barangkali ini
filosofi yang kubutuhkan.
Kamu mengerti maksudku apa itu
teratai dibanding bunga lainnya?
Tasikmalaya,
21 Juli 2017
Alfy
Maghfira