Berapa
juta kubik air yang turun, berapa banyak doa yang meluncur. Sore pada setiap
sore selalu mampir ke POM Bensin RE Martadinata Tasikmalaya. Senyum si penjaga
toilet terhalang oleh gerimis dari kejauhan, Sore masih bisa melihatnya.
Sekitar 10 menit Sore keluar.
Harusnya 2 ribu, ia punya sepuluh ribu. Penjaga Toilet mengambil kembalian dari
dalam kotak. Gerimis semakin deras. Sore berlari kecil ke arah masjid di
samping toilet. Di sana ada kesempatan; solat dan menulis.
Di teras masjid ada sekitar 4 orang
yang tertahan oleh hujan. Motor dibiarkan dicium hujan begitu saja. Di sudut
kanan seorang bapak berusia 40-an larut oleh androidnya. Tak lama muncul anak
kecil berambut keriwil bersama ibunya yang dijemput sang ayah dengan payung
merah menuju avanza. Di tepi teras ada sepasang mahasiswa yang ikut membuka
laptop mereka setelah Sore sejak beberapa menit lalu mulai menulis menggunakan
laptop.
Gerimis tak kunjung reda. Haruskah
hujan menciumi Sore pada sore itu? Menunggu bisa menjadi hal buruk untuk siapa
saja, apalagi menunggu hujan yang tak tahu kapan hilang? Langit pun tak sedikit
pun memberi pesan akan segera mengusir awan. Sore pada sore itu ingin
memastikan menunggu adalah sebuah kesempatan. Jika hanya menunggu sambil sibuk melirik
jam, tentu Sore akan kesal.
Sejak tadi Sore terdiam pada sore
yang sepi, dingin dan basah. Sore ingin pulang tanpa diciumi hujan.
Baru
jam dua dinihari. Saya cek dulu handphone, wah twitter masih ramai gara-gara
kartu kuningnya ketua BEM UI—Zaadit Taqwa. Lak-laki berbatik merah dengan
perawakan gempal ini berdiri tak gentar di garda terdepan sembari mengacungkan
sebuah kartu kuning pada Presiden Jokowi layaknya wasit.
Ada apakah dengan Jokowi? Saya tidak
pernah benar-benar tahu sebenarnya bagaimana aslinya presiden negara Indonesia
tersebut? Yang diketaui ya dia seorang presiden yang katanya humble dan beprestasi semasa menjabat
walikota Solo.
Lalu faedahnya apa ngasih kartu
kuning buat Jokowi? Namun kartu tersebut bukan kartu sehat, kartu pintar, kartu
ATM, apalagi kartu kredit. Bisa saja itu kartu yang sudah dicoreti surat cinta
layaknya Dilan buat Milea—aku sayang kamu, aku tidak mau kamu lengser begitu
saja. Jadi kukartu kuning saja, biar Bapak hati-hati.
Dengan segala drama yang terjadi
selama rezim Jokowi—mungkin saja ini adalah puncak apresiasi dari Zaadit. Kalau
saya masih membubuhi kata ‘mungkin saja’ nggak boleh dong menghakimi rezim
Jokowi itu penuh drama.
Dunia ini semakin hari kok
semakin blur saja. Kepercayaan sudah terombang-ambing. Ingin bersikap netral
tapi selalu berat sebelah—hati mana yang tidak bisa berat? Namanya juga
manusia.
Kemarin saya bertanya pada salah
satu temanku, dia mahasiswa UI juga, begini tanyaku; “Kamu dukung
siapa nih?”
Dia,”Nggak. Hahahah. Aneh saja
katanya mau janjian ketemuan. Tapi kok presidennya dipermaluin gitu.”
Ah, mulutmu bilang enggak. Tapi
hatimu jelas berat ke siapa. Yasudahlah, saya simpan saja kata-kata itu dalam
hati.