St.
Schmidtess : La Belle Dame Sans Meri
(Alfy Maghfira)
St. Schmidtess tak lebih dari sebuah penjara bagi
Hana Dutch. Baru saja beberapa minggu gadis itu menyandang murid baru di St. Schmidess,
tapi si rambut pirang itu, masih saja mengangkat dagu di depan teman
seasramanya. Well, kesan pertama
terhadap Hana sukses membuat orang-orang menggeram padanya.
Tak terkecuali
dengan Marcus Cho. Rahangnya akn selalu mengeras acap kali berjumpa dengan gadis
angkuh itu. Dia takkan pernah melupakan mulut kotor Hana pernah menodai
kenyamanan penumpang kereta St. Schmidtess.
“Lihat,
si pirang itu. Lagaknya seperti bangsawan paling tinggi di sekolah ini,” bisik
Bratt dari belakang tubuh pria blasteran Inggris-Korea itu, Marcus.
Yeah, bukan Marcus namanya jika tidak
menunjukkan sisi ketenangannya. “Biarkan saja, Bratt. Aku sudah pernah melihat
sisi arogant-nya saat di kereta
beberapa minggu yang lalu,” timpal Marcus tanpa menengok badan si gempal yang
masih di belakang.
“Claire,
jangan lupa bawakan makanan untukku!” interupsi Hana sambil mengambil kursi di
sudut ruang makan.
Claire
Hayes hanya menarik napas, mengolah kesabaran terhadap teman sekamarnya. Oh,
Tuhan, ini sungguh sebuah kesialan bagi Claire harus satu kamar dengan Hana. Si
pirang itu berlagak seperti majikan dan memperlakukan Claire seperti halnya
pelayan setianya. Shit!
“Nona
Dutch, tapi antrian pembagian makanan masih panjang. Aku bisa kerepotan kalau
bawa dua nampan,” protes Claire sambil memasang rengutan masam di wajah.
“Claire.
Apa kau lupa? Tompel besar di punggungmu itu bisa kubocorkan pada semua
penghuni St. Schmidtess di sini,” desis Hana seraya bangkit dari kursi. Suaranya
nyaris seperti ular yang hendak memberi ancaman.
Bola mata
cokelat Claire terpejam. Sejujurnya jika saja tompel sialan itu enyah dari
punggungnya. Mungkin Claire tidak akan pernah sudi menjadi teman setia Hana.
Ah, tidak... tidak... itu salah... tapi ‘budak setia’ Hana Dutch.
***
“Woaa! Kau lihat dia tampan sekali, bukan? Dia putra
dari Kepala Sekolah St. Schmidtess!”
seru Claire dan Angeline. Pipi kedua gadis itu tampak bersemu merah
seperti tomat matang. Mereka saling bertukar pandang, kemudian menatap Marcus
Cho yang sedang melintasi mereka di koridor perpustakaan.
“Ck! Tampan?
Kalian memang perempuan dangkal. Apa yang mesti dibanggakan darinya? Putra dari
kepala sekolah penjara sialan ini?” Kali ini mulut Hana memang seperti tong
sampah bagi Marcus Cho.
Langkah
kaki Marcus terhenti. Wajahnya yang tersorot lampu kekuningan dari atap koridor
mulai terlihat kemerahan. Yeah, lidah
Hana sukses menyulut emosinya. Pria yang
terbalut jas St. Schmidtess warna biru itu membalikkan badannya. Bola matanya menerjang tatapan Hana.
“Apa
yang kau katakan?!” Marcus mulai menyeringai. Jarak mereka kini hanya sekita 10
cm meter.
Hana
tak sedetik pun mengerjapkan matanya. Yah, yah, yah. Gadis itu cukup kuat
menahan tusukan tatapan Marcus. “Tak ada siaran ulang, sayang...,” desis Hana
seraya tersenyum licik.
Senyum
sinis Marcus Cho terulas. Seolah menertawakan
sesuatu paling buruk dari sisi Hana Dutch. “Apa kau pikir aku tidak tahu apa
yang membuatmu terpenjara di sini, Nona Dutch?” kata-kata Marcus mulai membuat
kerutan di dahi Hana.
“Apa
maksudmu?”
“KAU
HANYALAH ANAK YANG DIBUANG OLEH PAPAMU SENDIRI. SETELAH PAPAMU MENIKAH LAGI!” Marcus berteriak seraya tersenyum penuh
kemenangan. Suaranya sudah tentu tersebar ke seluruh penjuru koridor hingga
menembus pintu perpustakaan.
Wajah
Hana memucat, panik, saat semua orang yang berada di sekitarnya menyudutkan
perhatian pada dirinya. Well,
mendengar kalimat menyakitkan itu membuat hatinya terasa terkoyak lidah liar Marcus Cho. Kaki Hana limbung, shok! Bagaimana bisa Marcus Cho
mengetahui hal terkelam di hidupnya?
Embun
hangat mulai tertumpuk di pelupuknya. “Ma-Marc, ka-kau...!!” Lidah Hana tak
sanggup melawan pria di hadapannya. Dia tak sanggup lebih lama lagi mendengar
bisikan-bisikan yang membuat telinganya seakan berdenging dijejaki semut.
“Oh,
Senior Cho. Apa itu benar?” Claire menyumbangkan pertanyaan seraya membeliakkan
mata pada pria berkulit susu di depannya.
Pertanyaan-pertanyaan
serupa itu terus mengisi pendengaran Marcus. Tapi pria itu hanya tergeming. Seolah
merenungi sebuah kesalahan yang baru saja terluncur dari mulutnya. Oh, Marc. Kenapa kau sekejam ini?
***
“Prof. Caddington, Hana tidak ada di kamarnya! Aku
sudah mencarinya ke mana pun. Saat makan malam pun, dia tidak ada. Bagaimana
ini?” Tiba-tiba Claire Hayes mengerang cemas saat gadis itu menerobos masuk ruangan pengawas
asrama perempuan.
Wanita
paruh baya yang rambutnya tergelung itu tampak membuat kerutan di dahinya yang
penuh garis-garis penuaan. “Hana Dutch, sudah selarut ini tidak ada di kamar?”
Claire
mengangguk. Well, meskipun dia sering
kali diperlakukan seperti budak bagi Hana. Rupanya gadis itu masih menunjukkan
kesetiaannya sebagai seorang teman.
“Apa
kau tahu kenapa dia bisa menghilang?” tanya Prof. Caddington seraya meluncurkan
tatapan tajam penuh interogasi.
“Itu...
itu... kupikir gara-gara ucapan Senior Cho, Prof. Caddington,” jawab Claire
segan. Wajahnya terlihat menunduk tak sanggup menatap tatapan tegas
profesornya.
***
“Hana!! Di mana kau?!” teriak Marcus ke seluruh
penjuru taman yang tak terlihat
keindahannya ketika malam mulai bertandang.
Marcus
memutar badannya. Sorot matanya nanar ke setiap arah. Yeah, seperti seorang
pria yang mencari kekasihnya yang hilang. Cahaya bulan sepotong terpantul ke
wajahnya yang terlihat menunjukkan guratan-guratan penuh kecemasan.
Rupanya
Prof. Caddington menegur Marcus akibat mulutnya yang tak bisa dijaga. Wajar saja
jika Hana melarikan diri dari semua orang, siapa yang tidak malu jika aibnya
tersebar? Oh, Marc. Kau sungguh bodoh! Pria
itu untuk ke sekian kalinya mengutuki mulutnya.
“Hana!!”
Marcus masih mengerahkan pita suaranya mengudara, berharap Hana Dutch
mendengarnya di mana pun dia berada.
Kali
ini pria itu berlari menuju gerbang St. Schmidtess. Mata obsidiannya menyisir
stasiun sepi yang berada di depan mata. “Dutch di mana kau?” gumam Marcus saat
kakinya mendekati stasiun kecil milik St. Schmidtess.
“Hana
Dutch!” Marcus melepaskan sisa suaranya di antara desahan napasnya yang memburu
saat melihat gadis berambut pirang dengan tubuh terbalut seragam biru terduduk
di bangku panjang.
Wajah
Hana terangkat. Oh, Tuhan... pipinya dipenuhi parit-parit kecil. Mata birunya
tampak berkilau. “Kau sudah puas?”
Langkah
Marcus mulai melambat saat jaraknya dengan Hana hanya tersisa lima langkah
lagi. “Hei... wanita tanpa belas kasih. Hana Dutch. Maafkan aku...,” gumam
Marcus seraya menuangkan senyum terbaiknya.
“A-apa
maksudmu?” Hana bertanya tak mengerti.
“Tak peduli sekejam apa pun Elizabeth Bathory
di mata dunia. Bagiku, wanita terkejam di dunia ini hanyalah satu. Dia wanita
yang berhasil mengambil bagian terpenting dalam hatiku tanpa pernah bisa melengkapinya
kembali. Memporak-porandakkan hatiku dengan seringanya saat berjumpa di kereta.
Mengusik sisi hidupku yang tenang dengan makian dan canda tawanya. Dan merampas
waktu berhargaku dengan memikirkannya. Dialah Hana Dutch. Gadis tanpa belas
kasihku,” Marcus bergumam seraya terus melangkah dan meraih
tangan Hana begitu lembuat. “Maafkan aku....”
SEKIAN
Puisi La
Belle Dame Sans Merci, karya
John Keats
Puisi ini dikarang sekitar tahun 1800-an. Prosanya menunjukkan kisah seorang gadis kejam dan arrogant bernama Elizabeth Bathory dari Hungaria. Elizabeth adalah bangsawan kelas atas yang memiliki wajah cantik, tapi sayang kecantikannya tercoreng oleh kekejamannya terhadap pelayan-pelayannya, gadis-gadis bangsawa lainnya yang berakhir dengan darah.
Puisi ini dikarang sekitar tahun 1800-an. Prosanya menunjukkan kisah seorang gadis kejam dan arrogant bernama Elizabeth Bathory dari Hungaria. Elizabeth adalah bangsawan kelas atas yang memiliki wajah cantik, tapi sayang kecantikannya tercoreng oleh kekejamannya terhadap pelayan-pelayannya, gadis-gadis bangsawa lainnya yang berakhir dengan darah.
#KampusFiksi Puisi
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerpen /
Fanfiction
dengan judul Cerpen-St. Schmidtess : La Belle Dame Sans Meri. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://keepmirotic.blogspot.com/2015/03/cerpen-st-schmidtess-la-belle-dame-sans.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Alfy Maghfira - Senin, 23 Maret 2015
Belum ada komentar untuk "Cerpen-St. Schmidtess : La Belle Dame Sans Meri"
Posting Komentar