My Books

My Books
Araska Publisher, 2014. Ellunar, 2014, 2015, 2015.
I LOVE KAMPUS FIKSI - #KAMPUSFIKSI12

Cerpen-St. Schmidtess : La Belle Dame Sans Meri

St. Schmidtess : La Belle Dame Sans Meri
(Alfy Maghfira)
St. Schmidtess tak lebih dari sebuah penjara bagi Hana Dutch. Baru saja beberapa minggu gadis itu menyandang murid baru di St. Schmidess, tapi si rambut pirang itu, masih saja mengangkat dagu di depan teman seasramanya. Well, kesan pertama terhadap Hana sukses membuat orang-orang menggeram padanya.
          Tak terkecuali dengan Marcus Cho. Rahangnya akn selalu mengeras acap kali berjumpa dengan gadis angkuh itu. Dia takkan pernah melupakan mulut kotor Hana pernah menodai kenyamanan penumpang kereta St. Schmidtess.
          “Lihat, si pirang itu. Lagaknya seperti bangsawan paling tinggi di sekolah ini,” bisik Bratt dari belakang tubuh pria blasteran Inggris-Korea itu, Marcus.
          Yeah, bukan Marcus namanya jika tidak menunjukkan sisi ketenangannya. “Biarkan saja, Bratt. Aku sudah pernah melihat sisi arogant-nya saat di kereta beberapa minggu yang lalu,” timpal Marcus tanpa menengok badan si gempal yang masih di belakang.
          “Claire, jangan lupa bawakan makanan untukku!” interupsi Hana sambil mengambil kursi di sudut ruang makan.
          Claire Hayes hanya menarik napas, mengolah kesabaran terhadap teman sekamarnya. Oh, Tuhan, ini sungguh sebuah kesialan bagi Claire harus satu kamar dengan Hana. Si pirang itu berlagak seperti majikan dan memperlakukan Claire seperti halnya pelayan setianya. Shit!
          “Nona Dutch, tapi antrian pembagian makanan masih panjang. Aku bisa kerepotan kalau bawa dua nampan,” protes Claire sambil memasang rengutan masam di wajah.
          “Claire. Apa kau lupa? Tompel besar di punggungmu itu bisa kubocorkan pada semua penghuni St. Schmidtess di sini,” desis Hana seraya bangkit dari kursi. Suaranya nyaris seperti ular yang hendak memberi ancaman.
          Bola mata cokelat Claire terpejam. Sejujurnya jika saja tompel sialan itu enyah dari punggungnya. Mungkin Claire tidak akan pernah sudi menjadi teman setia Hana. Ah, tidak... tidak... itu salah... tapi ‘budak setia’ Hana Dutch.
***
“Woaa! Kau lihat dia tampan sekali, bukan? Dia putra dari Kepala Sekolah St. Schmidtess!”  seru Claire dan Angeline. Pipi kedua gadis itu tampak bersemu merah seperti tomat matang. Mereka saling bertukar pandang, kemudian menatap Marcus Cho yang sedang melintasi mereka di koridor perpustakaan.
          “Ck! Tampan? Kalian memang perempuan dangkal. Apa yang mesti dibanggakan darinya? Putra dari kepala sekolah penjara sialan ini?” Kali ini mulut Hana memang seperti tong sampah bagi Marcus Cho.
          Langkah kaki Marcus terhenti. Wajahnya yang tersorot lampu kekuningan dari atap koridor mulai terlihat kemerahan. Yeah, lidah Hana sukses menyulut emosinya.  Pria yang terbalut jas St. Schmidtess warna biru itu membalikkan badannya.  Bola matanya menerjang tatapan Hana.
          “Apa yang kau katakan?!” Marcus mulai menyeringai. Jarak mereka kini hanya sekita 10 cm meter.
          Hana tak sedetik pun mengerjapkan matanya. Yah, yah, yah. Gadis itu cukup kuat menahan tusukan tatapan Marcus. “Tak ada siaran ulang, sayang...,” desis Hana seraya tersenyum licik.
          Senyum sinis  Marcus Cho terulas. Seolah menertawakan sesuatu paling buruk dari sisi Hana Dutch. “Apa kau pikir aku tidak tahu apa yang membuatmu terpenjara di sini, Nona Dutch?” kata-kata Marcus mulai membuat kerutan di dahi Hana.
          “Apa maksudmu?”
          “KAU HANYALAH ANAK YANG DIBUANG OLEH PAPAMU SENDIRI. SETELAH PAPAMU MENIKAH LAGI!”  Marcus berteriak seraya tersenyum penuh kemenangan. Suaranya sudah tentu tersebar ke seluruh penjuru koridor hingga menembus pintu perpustakaan.
          Wajah Hana memucat, panik, saat semua orang yang berada di sekitarnya menyudutkan perhatian pada dirinya. Well, mendengar kalimat menyakitkan itu membuat hatinya terasa terkoyak lidah liar Marcus Cho. Kaki Hana limbung, shok! Bagaimana bisa Marcus Cho mengetahui hal terkelam di hidupnya?
          Embun hangat mulai tertumpuk di pelupuknya. “Ma-Marc, ka-kau...!!” Lidah Hana tak sanggup melawan pria di hadapannya. Dia tak sanggup lebih lama lagi mendengar bisikan-bisikan yang membuat telinganya seakan berdenging dijejaki semut.
          “Oh, Senior Cho. Apa itu benar?” Claire menyumbangkan pertanyaan seraya membeliakkan mata pada pria berkulit susu di depannya.
          Pertanyaan-pertanyaan serupa itu terus mengisi pendengaran Marcus. Tapi pria itu hanya tergeming. Seolah merenungi sebuah kesalahan yang baru saja terluncur dari mulutnya. Oh, Marc. Kenapa kau sekejam ini?
***
“Prof. Caddington, Hana tidak ada di kamarnya! Aku sudah mencarinya ke mana pun. Saat makan malam pun, dia tidak ada. Bagaimana ini?” Tiba-tiba Claire Hayes mengerang cemas saat  gadis itu menerobos masuk ruangan pengawas asrama perempuan.
          Wanita paruh baya yang rambutnya tergelung itu tampak membuat kerutan di dahinya yang penuh garis-garis penuaan. “Hana Dutch, sudah selarut ini tidak ada di kamar?”
          Claire mengangguk. Well, meskipun dia sering kali diperlakukan seperti budak bagi Hana. Rupanya gadis itu masih menunjukkan kesetiaannya sebagai seorang teman.
          “Apa kau tahu kenapa dia bisa menghilang?” tanya Prof. Caddington seraya meluncurkan tatapan tajam penuh interogasi.
         “Itu... itu... kupikir gara-gara ucapan Senior Cho, Prof. Caddington,” jawab Claire segan. Wajahnya terlihat menunduk tak sanggup menatap tatapan tegas profesornya.
***
“Hana!! Di mana kau?!” teriak Marcus ke seluruh penjuru taman yang  tak terlihat keindahannya ketika malam mulai bertandang.
          Marcus memutar badannya. Sorot matanya nanar ke setiap arah. Yeah, seperti seorang pria yang mencari kekasihnya yang hilang. Cahaya bulan sepotong terpantul ke wajahnya yang terlihat menunjukkan guratan-guratan penuh kecemasan.
          Rupanya Prof. Caddington menegur Marcus akibat mulutnya yang tak bisa dijaga. Wajar saja jika Hana melarikan diri dari semua orang, siapa yang tidak malu jika aibnya tersebar? Oh, Marc. Kau sungguh bodoh! Pria itu untuk ke sekian kalinya mengutuki mulutnya.
          “Hana!!” Marcus masih mengerahkan pita suaranya mengudara, berharap Hana Dutch mendengarnya di mana pun dia berada.
          Kali ini pria itu berlari menuju gerbang St. Schmidtess. Mata obsidiannya menyisir stasiun sepi yang berada di depan mata. “Dutch di mana kau?” gumam Marcus saat kakinya mendekati stasiun kecil milik St. Schmidtess.
          “Hana Dutch!” Marcus melepaskan sisa suaranya di antara desahan napasnya yang memburu saat melihat gadis berambut pirang dengan tubuh terbalut seragam biru terduduk di bangku panjang.  
          Wajah Hana terangkat. Oh, Tuhan... pipinya dipenuhi parit-parit kecil. Mata birunya tampak berkilau. “Kau sudah puas?”
          Langkah Marcus mulai melambat saat jaraknya dengan Hana hanya tersisa lima langkah lagi. “Hei... wanita tanpa belas kasih. Hana Dutch. Maafkan aku...,” gumam Marcus seraya menuangkan senyum terbaiknya.
          “A-apa maksudmu?” Hana bertanya tak mengerti.
 “Tak peduli sekejam apa pun Elizabeth Bathory di mata dunia. Bagiku, wanita terkejam di dunia ini hanyalah satu. Dia wanita yang berhasil mengambil bagian terpenting dalam hatiku tanpa pernah bisa melengkapinya kembali. Memporak-porandakkan hatiku dengan seringanya saat berjumpa di kereta. Mengusik sisi hidupku yang tenang dengan makian dan canda tawanya. Dan merampas waktu berhargaku dengan memikirkannya. Dialah Hana Dutch. Gadis tanpa belas kasihku,” Marcus bergumam seraya terus melangkah dan meraih tangan Hana begitu lembuat. “Maafkan aku....”
SEKIAN

Puisi La Belle Dame Sans Merci, karya John Keats 
Puisi ini dikarang sekitar tahun 1800-an. Prosanya menunjukkan kisah seorang gadis kejam dan arrogant bernama Elizabeth Bathory dari Hungaria. Elizabeth adalah bangsawan kelas atas yang memiliki wajah cantik, tapi sayang kecantikannya tercoreng oleh kekejamannya terhadap pelayan-pelayannya, gadis-gadis bangsawa lainnya yang berakhir dengan darah. 
#KampusFiksi Puisi






Share 'Cerpen-St. Schmidtess : La Belle Dame Sans Meri' On ...

Ditulis oleh: Alfy Maghfira - Senin, 23 Maret 2015

Belum ada komentar untuk "Cerpen-St. Schmidtess : La Belle Dame Sans Meri"

Posting Komentar