Diikutkan Dalam Lomba Cerpen ‘Angels of Morning Star Club’
Malaikat
Tak Pernah Lelah
(Alfy Maghfira)
Mata panda sudah kumiliki sejak satu bulan
terakhir kini. Tubuhku seperti pohon maple gundul penuh guratan luka di
batangnya. Tersiksa. Meskipun angin pagi hari terasa segar bagi orang lain, tapi dadaku
begitu sesak. Tenggorokanku terasa tersumbat batu kerikil, sesak... sesak
sekali.
Matahari
yang tergantung di atas kepalaku terasa menyengat, membakar kulit. Panas yang
tersorot menerpa tubuh kekarnya, tak membuat kayuhan sepeda Ayah terhenti.
Ayah..., maafkan aku....
Bisikanku
tak mampu mengudara. Hanya air mata yang menjadi bahasa untuknya secara
diam-diam. Aku duduk di boncengan sepeda Ayah. Tanganku tercengkeram kuat pada
ujung bajunya. Bau keringat terendus. Aku menikmatinya, setiap cairan yang
menyeruak pori-porinya, tak lain adalah wujud kasih sayang yang tak pernah usai
darinya untuk putrinya, aku, Alfy Maghfira.
“A-ayah.
Jalannya menanjak. Lebih baik aku jalan saja,” usulku seraya berusaha
menjangkau wajah Ayah yang tetap lurus menyisir jalanan beraspal menuju rumah
sakit umum.
Desahan
dahaganya terdengar. Hatiku meringis. Rasanya ingin kuteriak, “AYAH SUDAH CUKUP, AKU TAK MAU TERUS
MENYIKSAMU KARENAKU!” Tapi kalimat itu hanya menjadi diary dalam hatiku. Aku membutuhkan Ayah.
“Jangan,
kakimu gak akan kuat buat jalan,” timpal Ayah di sela-sela embusan napasnya
yang memburu udara.
Setelah
bibir Ayah terkatup. Embun hangat dari ekor mataku mulai menyeruak, mengutuki
nasibku. Keberadaanku di dekat Ayah hanya akan menjadi racun yang perlahan bisa
membunuhnya. Aku tak lebih dari sebuah virus mematikan baginya. Tapi Ayah...
dia tak pernah peduli bahaya yang mengancamnya. Tak pernah. Hanya aku... hanya aku
yang ada di pikirannya.
***
Langkah kakiku seperti robot uji coba. Kaku,
limbung. Tak jarang wajahku selalu mencium tanah ketika kakiku tak mampu
menopang tubuhku. Tapi jika Ayah selalu ada di dekatku, tangannya yang penuh
dengan garis-garis keras kehidupan memapahku—melindapi koridor rumah sakit.
Wajah-wajah
pucat berada di sekelilingku. Aku meringis, tapi Ayah tak pernah menunjukkan
ekspresi sepertiku.
“Duduk
dulu di sini, Ya. Ayah mau ambil dokumen rekam medismu, Fy,” kata Ayah sembari
mendudukkanku di atas bangku panjang yang berada di tepi koridor. Aku duduk
berderet dengan mereka yang sama-sama tengah berjuang untuk tetap hidup.
Hampir
setengah jam, kami menunggu. Ya, hampir setiap hari Ayah membawaku ke rumah
sakit umum yang cukup jauh dari rumah. Bahkan kami pun harus menunggu mengantri
mendapatkan rekam medis untuk diserahkan ke poli yang akan memeriksaku.
Ayah
tersenyum lega, ketika namaku dipanggil. Dengan penuh semangat Ayah mengantarku
ke Poli Dalam (Poli yang menangani penyakit organ dalam tubuh) yang berada tak
jauh dari ujung koridor administrasi, kami hanya tinggal belok ke kanan. Meskipun
dekat, sungguh... kakiku terasa layu untuk terus berjalan. Diam-diam aku
tersenyum getir saat Ayah kembali memapahku seperti balita.
Terimakasih, Ayah. Seandainya Tuhan
membiarkanku berumur panjang. Kelak suatu saat aku yang akan mengurusimu
seperti malaikat. Ayah, kau adalah malaikat terindah yang kupunya.
Lagi-lagi
dan lagi kami harus menunggu giliran untuk diperiksa. Masih dengan kesetiannya,
Ayah tetap berdiri di sampingku tanpa peduli embusan setiap napas di sekitarnya
bisa menyarangkan penyakit menular di paru-parunya.
“Alfy
Maghfira!” teriakan pria dari dalam ruangan.
Susah
payah aku berusaha menarik tubuhku dari bangku. Ayah kembali memapahku ke dalam
ruangan seraya mengenggam selebaran hasil scan
paru-paru-ku dari ruang radiologi (Ilmu pengobatan yang menggunakan sinar X
atau sinar radioaktif untuk mengetahui penyakit).
Pria
paruh baya dengan rambut hampir memutih tengah berdiri menyambutku. Dia tersenyum,
senyum hangatnya sering kunikmati hampir setiap hari. Mungkin dia hampir bosan
melihatku, menyambangi ruangannya. Well,
hanya ke sini jalanku untuk tetap hidup.
Ayah
duduk di sampingku seraya menyerahkan rekam medis-ku. Dokter Sumpena mulai
membuat kerutan di wajahnya saat melihat hasil akhir pemeriksaan penyakitku. Lalu
mendongak, menatapku dan Ayah secara bergantian.
Bibirnya
bergerak, memberitakan berita yang membuat masa depanku seakan suram terhalangi
awan mendung, tak bisa kuprediksi—kapan aku bertahan hidup. Dan Ayah... oh,
tidak, ketangguhannya sedikit tergoresi oleh guratan kesedihan di wajahnya.
Embun hangat yang tak seharusnya jatuh untukku akhirnya luruh melindapi
pipinya.
***
Hari demi hari. Bulan demi bulan. Ayah tak
pernah lelah mengingatkanku untuk menelan obat tepat waktu. Pil-pil merah yang
harus kuminum 3x sehari sudah seperti permen bagiku.
Ayah, sekali lagi aku ingin berbisik padamu,
kau adalah malaikat tak bersayap yang selalu setia merawatku. Seandainya waktu
mengenankanku berumur panjang, ‘kan kubuat sepasang sayap kebahagiaan di antara
hidupmu. Hingga kau bisa terbang menikmati indahnya dunia bersamaku. Terimakasih,
Ayah....
SEKIAN
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerpen /
Kepenulisan
dengan judul Cerpen - Malaikat Tak Pernah Lelah. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://keepmirotic.blogspot.com/2015/03/cerpen-malaikat-tak-pernah-lelah.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Alfy Maghfira - Sabtu, 07 Maret 2015
Belum ada komentar untuk "Cerpen - Malaikat Tak Pernah Lelah"
Posting Komentar