St. Schimidtess
(Alfy
Maghfira)
“Hei, siapa namamu?”
Tatapan
Hana teralihkan ke luar jendela—menatap pohon-pohon di tepi jurang saling
berkejaran seiring keretanya terus bergerak. Ia tak menghiraukan pertanyaan
pria berpakaian tuxedo di depannya. Sekelumit
masalah menenggelamkan seluruh kesadarannya.
“Nona?”
Ia mengulanginya, keningnya berkerut samar.
Gadis
dengan rambut pirangnya itu masih tetap tergeming. Hatinya tak sedikit pun lumer
terhadap pria tampan yang terus bertanya padanya. Manik mata biru terangnya
kini mendarat pada seorang pelayan yang sedang mendorong meja troli-nya terisi
makanan. Pria paruh baya dengan kumis meliuk di tepi bibirnya menyematkan
senyum terbaiknya. Troli itu mulai melintasi kursi Hana.
“Nona,
apa Anda ingin sesuatu untuk dimakan? Kereta Ekspress Shcmidtess menyajikan
Pastry bertabur gula rendah kalori yang cocok untuk Anda atau Anda mau secangkir
cokelat panas?” Ia menatap gadis berkulit susu di tepi jendela yang masih
menatapnya linglung.
Sementara
Marcus Cho, pria di depan gadis itu masih mempertahankan kerutan di keningnya,
menyadari ada yang aneh dengan gadis yang tak diketahui namanya itu.
“Pergi
bodoh!! Aku tidak membutuhkan apa pun!” teriaknya tiba-tiba. Figurnya yang
terlihat lembut tak sesuai dengan sikapnya yang kasar. Yeah, suaranya menembus pintu yang terkuak dan tersambung dengan gerbong-gerbong di sebelahnya seiring lajunya mulai melambat ketika melewati tikungan yang curam.
“Tidak
sopan!!” sungutnya sembari berlalu mendorong trolinya kembali. “Anak seperti
dia tidak pantas sekolah di Schmidtess!” lanjutnya ketus.
“Hai,
kau! Dasar tua bangka!! Memangnya siapa yang mau sekolah macam penjara itu?
Hah? Kakiku saja terasa kebas lama-lama berdiri di kereta yang diisi
orang-orang bernasib sial!” timpal Hana. Nada suaranya beroktaf-oktaf. Semua penumpang
yang berada dalam satu gerbong dengannya tampak tersentak. Ikut meracau,
mengutuki mulut pedas Hana.
Marcus
Cho mengangkat sebagian alisnya. “Apa kau bilang? Bernasib sial?!” kali ini
pria itu tak menunjukkan suara lembutnya. Ia ikut tersulut emosinya. Yeah, lidah Hana seperti pisau yang menggores
perasaan Marcus Cho.
“Kau
tahu? Schmidtess adalah sekolah asrama terbaik di London dan hanya para
keturunan bangsawan saja yang bisa mengenyam pendidikan di sana!” papar Marcus.
Giginya tampak mengertak, geram. Well,
ia tak terima sekolah yang dikepalai oleh ayahnya sendiri disebut penjara.
“Cih!
Persetan apa yang kau katakan!” timpal Hana pedas.
“Siapa
kau, hah? Apa kau sadar? Hampir semua calon murid St. Schmidtess yang duduk di
sini tersakiti perasaannya oleh lidahmu itu.“ Marcus menyilangkan lengannya di
dada. Tubuhnya terlihat semakin atletis seiring usianya beranjak ke angka 17.
Dagu
Hana terangkat begitu pula dengan dadanya yang membusung, congkak. “Aku... Hana
Dutch!” ucap Hana. “Tak habis pikir, kenapa orangtuaku begitu nekat membiarkanku
terpenjara di sekolah Inggris. Apa yang istimewanya di sini. Sekolah Jerman jauh
lebih bergengsi daripada di sini, tapi mereka sungguh bodoh,” lanjut Hana
semakin menggila meracau tentang orangtuanya.
“Tutup
mulutmu! Sebentar lagi kau akan dapat hukuman, Nona Dutch!” desis Marcus dengan
seringanya yang mematikan.
Pria
itu berlalu meninggalkan gadis yang terbalut gaun dengan rok berlipitnya. Wajah
Hana memang cantik di mata Marcus tapi lidah gadis itu seperti pedang yang
mampu membunuh semua perasaan orang di sekitarnya.
“Shit!”
dengus Hana dengan sepasang matanya yang terhunus tajam pada pria yang lebih
memilih duduk di kursi paling depan.
Kau akan tahu rasanya sebuah kilas hukuman yang perih bagi orang-orang bermulut pedas di St. Schmidtess, Nona Dutch. Marcus mencuri pandangan saat gadis berambut
pirang tergelung itu duduk kembali dengan wajah tegangnya.
***
Well,
hari pertama menginjakkan kaki di St. Schmidtess menjadi hari tersuram bagi
Hana Dutch. Murid baru tingkat 1 SMA.
Gurat-gurat kesombongan di wajahnya masih tetap terukir jelas di
wajahnya meskipun Kesiswaan St. Schmidtess memanggilnya—terkait sikap tak
terpujinya saat di Kereta Ekspress Schmidtess.
“Kenapa
Anda bersikap seperti itu?” Pria tua kisaran 60-an itu memiliki kumis serabut di
tepi bibirnya. Kerutan di wajahnya membuat tatapan cemooh dari Hana.
“Karena
aku benci di sini,” desisi Hana tak sedikit pun ia gentar terhadap Prof.
Dacenlake, yang memiliki sorot mata tajamnya seperti kucing.
“Anda
benci? Baiklah, akan kuajari bagaimana caranya mencintainya,” pungkas Prof.
Dacenlake seraya menarik Hana keluar dari ruangannya dan menyeretnya menuju
menara yang memiliki nama Dacenlake. Anak tangga di menara itu terasa tak
berujung. Kaki Hana terasa hampir patah. Well,
itu hukumannya.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerpen /
Kampus Fiksi /
Kepenulisan
dengan judul St. Schmidtess . Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://keepmirotic.blogspot.com/2015/03/st-schmidtess.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Alfy Maghfira - Sabtu, 07 Maret 2015
Belum ada komentar untuk "St. Schmidtess "
Posting Komentar