Emosi
Alfy
Maghfira
Sumber: aldakwah.org |
Suatu
hari kau membiarkanku menggiringmu ke rumah Fulanah. Kau mengetuk pintu tidak
sabaran, bahkan suaramu terdengar kasar. Aku tidak puas jika kau hanya memakai
oktaf yang rendah. Kau pun menurut dan semakin mengerahkan pita suara. Satu menit
hingga tiga menit berikutnya, orang dari dalam rumah pun belum kunjung keluar.
Aku tidak suka jika kau hanya berdiri
tenang, dadamu tidak berdebar, matamu tidak garang. Berikutnya aku menyulut
mulutmu dan kau pun berteriak lagi, “Keluar! Buka pintunya!”
Tak lama, kau pun melihat Fulanah
bertudung biru, gamis polos terjuntai di badannya yang kurus. Matanya yang
teduh merambat lurus ke arahmu. Aku tidak suka jika kau luluh hanya karena
pandangan setan itu. Sekarang aku mengorek bagian luka di kepalamu juga di
tubuhku. Biar kau merasa sakit lagi. Biar kau ingat lagi. Biar kau tidak mudah
memaafkan Fulanah. Biar dia tahu, kalau kau terluka!
“Akang, maafin Eneng. Eneng enggak
punya kekuatan buat bantah perintah Abah sama Emak.” Bicara Fulanah kentara
dengan aksen sunda.
Aku pun berbisik seperti ini, “Kau harus memakinya. Apa kau tidak punya
harga diri? Kau itu laki-laki, tunjukkan kalau kau bisa lebih dari lelaki
pilihan orangtuanya.”
“Saya punya harga diri, Neng!
Katakan sama si Abah dan Emak, saya bisa cari uang yang banyak. Saya bisa
belikan anaknya emas, mobil bahkan berpuluh-puluh hektar tanah!” Aku bertepuk
tangan karena kau penurut ulung.
“Akang! Abah enggak sedangkal itu
seleranya,” Fulanah berusaha membentak tapi suaranya terlalu gemulai untuk
mengentak kau dan aku.
Lalu aku mengoyak lagi isi kepalamu,
kau harus ingat, kemarin kau mendengar berita kalau Fulanah sudah dijodohkan
dengan Fulan—si juragan yang tanahnya berpetak-petak. Sedangkan kau? Hanya
tukang mie bakso gerobak dan tinggal di rumah sewaan.
“Apa lagi alasannya kalau bukan
masalah duit?”
“Kau
harus mengeraskan rahang!”
Kau mengeraskan rahang dan menatap
tajam Fulanah. Biar Fulanah tahu kau tidak main-main dengan tekadmu.
“Akang..., sekarang Eneng merasa
yakin, “ ucap Fulanah diikuti dengan air pasang yang meluap dari sudut matanya.
“Kau
tidak boleh lemah! Ingat kau sudah diinjak-injak! Jangan lemah gara-gara
airmatanya!” Aku mengingatkan kau lagi saat kepalamu tertunduk seakan
menyesali mulutmu itu.
“Ternyata pilihan Abah tidak pernah
salah. Ternyata pilihan Eneng yang salah. Akang kasar, tidak sopan. Eneng
enggak suka itu, Kang. Maaf, Kang. Mulai sekarang jangan ganggu hidup Eneng
lagi!!”
Brukk!
Suara debuman pintu tertutup. Sekarang kau sadar, kesempatanmu sudah tertutup
rapat. Kau pun berlutut menyedihkan di depan pintu. Meraung-raung menyebut
namanya, biar dia tahu kau amat mencintainya. Kau terus menyebut namanya sampai
kau lupa, sudah kehilangan harga dirimu di depan rumahnya. Kau lupa... kau tak
pernah mampu mendamaikanku. Kau tak pernah mampu mendamaikan emosimu bersamaku.
Aku yang diam sebagai hatimu.
“Kau
menjajahku dengan emosimu!”
#NulisBarengAlumni
#Perdamaian
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerpen /
Kampus Fiksi
dengan judul Cerpen-Emosi. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://keepmirotic.blogspot.com/2016/01/cerpen-emosi.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Alfy Maghfira - Kamis, 14 Januari 2016
Belum ada komentar untuk "Cerpen-Emosi"
Posting Komentar