Dusta Ayah
Alfy
Maghfira
Mata
mengilat menafsirkan beribu prasangka yang melesat ke cakrawala. Ia duduk
bersisian dengan debur ombak yang seakan mengikis ruang hatinya. Sempit. Hanya dicucuri
masa lalu yang belum tandas meskipun waktu terus menggiring tanpa batas. Tanpa
batas yang diasumsikan oleh manusia.
Saat jingga bertaburan di langit, ia
lekas menunggu seseorang sambil terus meretaskan airmata—menatap sang mega yang
hendak dibunuh samudera.
Sepuluh tahun yang lalu, pasir yang terhampar
luas ini selalu diriuhi dua pasang kaki. Mencetak jejak kenangan di atas
lapisan. Riak ombak menemani tawa yang terus tergelak bersahut-sahutan. Mereka
duduk bersisian di atas batu yang terlalu kuat digerogoti lautan.
Ayah berkata saat itu, “Ayah
pernah melihat matahari biru terbenam di sini.” Ia menyusupkan lengan di antara
leher putranya.
“Wah? Beneran, Yah? Tapi hari ini kenapa
mataharinya merah?”
Pria itu berjanggut dan kulitnya
seakan sering terbakar mentari. Ia tersenyum kecil—senyum yang hanya dinikmati
Putra 10 detik lamanya. Sampai senyum itu membias menjadi ucapan lagi, “Kamu
harus menunggunya, Nak. Berharap melihatnya. Waktu tak pernah terbatas kalau kamu bersabar.”
“Kapan Ayah terakhir kali melihatnya?”
“Ayah lupa, Nak,” timpal Ayah seraya
membiarkan bolamata-nya menyisir langit yang kian padam dikawinkan dengan
kegelapan.
Desau angin berhambur dari daratan,
Ayah bangkit dan mengerti akan bahasa alam itu. Angin yang menariknya ke
pesisir pantai, bertemankan perahu dan jala ikan. Putra sering kali merengek
saat Ayah ijin mengarungi lautan, menjala ikan tuk dibakar berduaan. Terakhir
kali , Ayah bicara seperti ini, “Lihat matahari terbenam kalau merindukan,
Ayah.” Ia mengecup puncak kepala Putra. “Ayah, janji akan pulang secepatnya.”
***
Sepulang dari sekolah, Putra lekas
berlari ke pesisir pantai. Ia berlarian ke sana-kemari seperti angin yang
sedari tadi bermain-main dengan pasir. Meniupnya, terkadang membentuk gunungan.
Menunggu kapal-kapal kecil ke tepian. Menunggu matahari biru tergelincir ke
lautan. Dalam ruang hatinya yang tanpa batas, terus mengukir lusinan kata ‘menunggu’
hingga dasawarsa menambatkan umurnya.
Putra sering kali dianggap gila,
yang terus menjebak diri dalam labirin masa lalu. Menganggap sang ayah belum
menunaikan janjinya. Tetangga-tetangga yang sering melewatinya tak pernah puas
untuk mengumpat. “Bapaknya udah lama mati. Pantes aja dia gila.”
Telinganya tidak tuli. Bibir pun
tidak bisu. Mata pun tidaklah buta. Tapi ia hanya ingin sendiri—menikmati waktu
yang katanya tanpa batas. Tanpa batas untuk menunggu sang ayah yang tak pernah
muncul dari lautan. Ayah yang pernah berkata melihat matahari biru terbenam. Putra
merasa terjebak dalam labirin harapan kosong. Harapan yang terus dibuai sang
ayah.
Padahal orangtua terkadang
bicara omong kosong, membuat lelucon demi mengembangkan senyuman anaknya. Putra selalu
menepisnya. Putra berasumsi lagi, “Ayah tidak pernah dusta. Aku akan
menunggunya di sini.”
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerpen anak /
Kampus Fiksi /
Kepenulisan
dengan judul Cerpen-Dusta Ayah. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://keepmirotic.blogspot.com/2016/01/cerpen-dusta-ayah.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Alfy Maghfira - Kamis, 07 Januari 2016
Belum ada komentar untuk "Cerpen-Dusta Ayah"
Posting Komentar