Kata
Para Semut
(Alfy
Maghfira)
Dinding toilet rumah
ini warna hijaunya sudah mulai pudar. Sementara kaki runcing kami tetap
mencakar tembok lembap ini. Kami adalah
makhluk yang kooperatif, tak memiliki keculasan seperti manusia. Lihatlah
kami yang memiliki jiwa berbagi dan bergotong royong memboyong remah-remah yang
selalu manusia remehkan di setiap gigitan rezekinya.
Tap... tap... tap....
Di saat kami berjalan begitu tenang
ditemani tetesan air keran yang tertahan di ember besar yang dasarnya sudah
berlumut, tiba-tiba ada suara anak perempuan mengganggu aktivitas kami.
“Lihat! Anak perempuan itu?
Menyedihkan sekali, bukan?” Semut yang berada di belakangku berseloroh.
Sambil berjalan lamat-lamat, kami
memerhatikan anak perempuan berambut tergerai, badan mungilnya terbalut kaus
putih bertuliskan ‘sweetest’ sedang
berjongkok di balik pintu toilet yang sudah hampir lapuk digerogoti
rayap-rayap. “Kenapa dia menangis seperti itu? Aduh! Rasanya telingaku sakit
sekali dengan suara teriakan kasar dari rumah ini!” Aku bertanya dan tiba-tiba
saja telingaku terasa berdengung mendengar suara yang beroktaf-oktaf yang sarat
dengan emosi meletup-letup.
“Apa kau tak mengerti juga dengan
teriakan dua orang berbeda jenis kelamin di rumah ini? Jika kau jadi anak
perempuan itu apa kau akan menangisinya?” Semut di belakangku masih terus
melontarkan pertanyaan yang tentu saja membuatku tidak mengerti. Sementara
semut-semut lain mulai tersenyum sembari memboyong remah-remah ikan bandeng
yang berhasil kami keruk di balik lemari dapur.
“Memangnya siapa mereka? Dan kenapa
aku harus menangisi kedua orang yang sedang beradu mulut itu?”
“Kau semut baru di rumah ini. Sudah
sepatutnya kau mengetahuinya,” katanya tanpa berniat berpindah posisi ke
sampingku. Kami para semut memang memiliki komitmen untuk terus berjalan pada
formasi dan alurnya.
“Coba beritahu aku, apa yang kau tahu
dari manusia di rumah ini?”
Remah-remah ikan bandeng di atas
punggungnya terlihat diangkat sedikit, aku tahu dia tampak kerepotan karena
ukuran remah-remah di antara semua semut, hanya miliknyalah yang terbesar. Lalu
dia mulai berbicara, “kedua orang itu adalah orangtua dari si anak perempuan
yang sedang menangis itu,” jawabnya sembari menginterupsiku untuk melirik anak
perempuan yang masih tak puas membuat telaga kecil di pipinya.
Aku menganggut-anggut dan masih enggan
berbicara.
“Kau tahu? Kata manusia bijak ;
orangtua yang bertengkar di depan muka anaknya secara tidak langsung sudah
menanamkan racun di dalam karakter anaknya. Lihat anak itu, apa yang bisa dia
perbuat? Dia hanyalah anak ingusan yang hanya bisa mendengar dan melihat tapi
tak mampu berteriak. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan anak untuk mengatasi
masalahnya hanya dengan menangis.”
Lubang para semut di dasar tembok
mulai terlihat, aku belum sempat menjawab ocehan kawanku karena mataku beberapa
detik terfokus pada lubang yang dua kali lebih besar dari lubang jarum. “Tapi,
pasti ada alasan kenapa orangtuanya bertengkar,” tukasku.
Kawanku sempat tertawa kecut meskipun
aku tidak bisa menatapnya yang masih tertib berjalan di belakang. “Manusia
adalah makhluk yang suka menumpahkan darah, banyak membuat alasan, melingkarkan
cincin masalah di kehidupannya tanpa mau melepaskan, membuat hal remeh
menjadi segunung dan itulah penyakit mereka. Dan, pertengakaran mereka
dikarenakan si istri mengeluh dengan penghasilan suaminya. Aku sudah bosan
mendengar keluhan itu setiap hari, dan, si anak itu juga sudah cukup lama
mendengar hal yang tak pantas didengarnya,” papar kawanku seolah dialah si anak
perempuan itu yang masih ditawan pesakitan sendirian.
“Hmmm... Begitu. Kawan, tidak ada
makhluk yang sempurna di dunia ini begitu pula dengan manusia yang
digadang-gadang sebagai makhluk paling sempurna di antara yang lain. Kita harus
memaklumi setiap kekurangannya. Dan, menurutku si istri wajar saja mengeluh
seperti itu pada suaminya, itu berarti suaminya kurang bekerja keras,”
timpalku. Tak terasa jarak kami dengan lubang itu sudah tinggal beberapa
sentimeter lagi.
“Tapi... Apa kau melupakan si anak?
Apa yang akan terjadi nanti di masa depannya? Seperti apa karakternya? Aku
yakin, pertengkaran orangtua di depan anak itu adalah racun ampuh untuk
menyebarkan penyakit pada karakternya. Dia tidak akan jauh beda dengan perangai
buruk orangtuanya. Mungkin akan lebih buruk lagi daripada orangtuanya.” Kawanku
mengingatkan hal terpenting yang hampir kulupakan. Astaga! Itu benar!
Kulirik anak perempuan itu lagi, dan
dia masih tetap berjongkok sambil menahan tangis yang sesenggukan. Sementara suara
orangtuanya terus mengudara menghantam pendengaran si anak dan menambah
ketakutannya. Oh, sungguh menyedihkan anak manusia itu.
“Ti-tidak! Remah-remahmu jatuh, kawan!” teriakan semut
lain yang kupikir berada di belakang kawanku terdengar nyaring dan membuat
langkah kami terhenti.
“Ada apa?” tanyaku panik setelah
kepalaku berhasil menengoknya.
“Remah-remahku tersapu angin yang
cukup kencang dari jendela itu."
“Apa?! Kalau remah-remahmu hilang,
nanti kau kelaparan!” seruku ikut panik.
Aneh. Ekspresi kawanku justru begitu
tenang tak ada riak kekhawatiran terhadap ancaman kelaparan yang bisa membuat
hidupnya tamat. “Tidak apa-apa. Tuhan tidak akan pernah membiarkan makhluk-Nya
mati kelaparan, karena setiap makhluk sudah memiliki jatah rezekinya
masing-masing. Begitu pula kita para semut, lihat tubuh kita yang begitu tipis
ini masih diberi rezeki dari remah-remah, bukan? Yasudah, kawan. Aku harus
kembali lagi mencari remah-remah. Semoga kita bisa berjumpa lagi lain waktu,”
pungkasnya sembari membalikkan badan hitamnya.
Sementara aku hanya menatapnya penuh
kesenduan. Para semut akan jarang sekali berjumpa dengan semut yang sama dan
ini yang kusedihkan, kukira kami akan pulang di waktu yang sama, tapi karena
keadaan kami harus berpisah. Hal terpenting baru saja kusadari saat ini adalah
seseorang yang berada di dekat kita. Kehilangan remah-remah bisa dicari, tapi
kehilangan kawan, kapan lagi kita akan berjumpa?
Kutatap sekali lagi anak perempuan
itu, lagi-lagi dia masih betah menangis. Seandainya saja aku bisa
berteriak seperti manusia, aku akan
berteriak pada kedua orangtuanya ; Diamlah!
Kalian sudah meracuni anak kalian! Jika kalian tetap seperti itu, aku tak yakin
cambuk seperti apa yang akan Tuhan layangkan di masa depan terhadap
kalian dan anak kalian!
SEKIAN
#FiksiRacun
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerpen /
Kampus Fiksi /
Kepenulisan
dengan judul Cerpen-Kata Para Semut. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://keepmirotic.blogspot.com/2015/04/cerpen-kata-para-semut.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Alfy Maghfira - Minggu, 19 April 2015
suka bangeeettt.. banyak kata-kata bisa dijadikan pelajaran. Sukses terus ya mbak, keep writing :D
BalasHapusTerima kasih banyak sudah berkunjung ^^ Jangan lupa mampir lagi, ya.
Hapus