Benang Merah
(Alfy Maghfira)
Tujuh hari yang lalu mataku bertemu di udara dengannya,
Yoga Januar. Pipiku matang, terpanggang sebuah cinta yang membara dan berharap menjadikanku
abu yang bisa ditiupkan padanya. Dengan menjadi abu, bisa kucumbui setiap lekuk
wajahnya.
***
Tok! Tok!
Tok!
Ketukan
itu terus berirama nyaring ke seluruh penjuru telinga. Argh! Tidurku harus
terjaga. Sialan! Jarum jam baru saja mendarat di angka 11, tapi kenapa ada
orang malam-malam begini mampir ke rumah.
Dengan
rasa kantuk yang begitu kental di wajahku, kugugah seluruh tenaga mencapai
pintu ruang tamu yang hanya menghabiskan 10 langkah dari kamar.
Cklek!
Samar-samar
kulihat dua sosok adam tengah berdiri di depanku. Yang rambutnya cepak bisa
kukenali wajahnya, si kampret Erwin, sepupuku.
Dan yang satu lagi... Wajah asing mulai kuamati. Rambutnya yang gondrong
dan berantakan. Hatiku merutuk liar, ikh...
Berantakan amet. Kayaknya dia udah berhari-hari gak mandi.
“Ay,
loh, kok, malah bengong, sih?” Erwin mulai mengomel saat bola mataku masih
begitu nyaman mengumpat penampilan teman prianya yang begitu lusuh.
Aku
bersedekap dan mengangkat dagu. “Win, ada perlu apa malem-malem kamu ketok
pintu? Nyadar enggak, sih? Kamu udah ganggu waktu tidurku...,” desisku layaknya ular yang terganggu dari tidur panjangnya.
Erwin
Aprilio mencondongkan tubuhnya ke dekatku hingga beberapa senti dari jarakku
berdiri. “Ay, gue enggak ada waktu buat jelasin sama lu. Tapi, gue mau minta
tolong sama lu. Di sini ‘kan banyak kamarnya. Jadi gue mau nitip temen gue buat
numpang bobo selama 1 hari,” lidahnya begitu ringan meminta hal yang nyaris
membuat emosiku langsung meradang hingga stadium 4.
Mata yang semula memandanganya malas-malasan, mendadak harus kuruncingkan. “Apa?
Gila! Kamu mau bikin aku sama temenmu ini di-RT-in sama warga, hah?!”
Ekspresi
pria di samping Erwin terlihat ‘tanpa dosa’. Tak ada angin atau pun ombak yang
beriak dari wajahnya. Datar. Tenang. Seolah ucapanku tak mengundang kekecewaan
untuknya.
“Please. Lu ‘kan tahu, gue sekamar sama
Radit. Mana mau adek gue berbagi ranjang sama orang asing. Masa gue mesti taroh dia di sofa?”
Sepasang mataku sempat mengintai suasana jalan atau sudut rumah tetangga yang berada depan rumah. Cemas, kalau-kalau ada tetangga yang mengawasi kami layaknya polisi yang siap menggerebek para kupu-kupu malam bersama kumbang-kumbang bertanduk belang.
Sepasang mataku sempat mengintai suasana jalan atau sudut rumah tetangga yang berada depan rumah. Cemas, kalau-kalau ada tetangga yang mengawasi kami layaknya polisi yang siap menggerebek para kupu-kupu malam bersama kumbang-kumbang bertanduk belang.
“Sini!”
Dengan kecepatan cahaya kutarik lengan pria yang masih belum kuketahui namanya
ke dalam rumah. “Kamu cepat pulang! Aku kepaksa tampung dia di kamar belakang!
Tapi... Kalau sampai ada apa-apa. Kamu yang tanggung jawab, ya, Win!”
***
“Untuk sementara kamu tidur di sini,” kataku dingin
setelah kuentakkan pintu kamar yang berada di halaman belakang rumah.
Terasa
sial itu, ketika menjadi anak sulung, hanya bertemankan sepi dan angin di rumah
tanpa adik atau pun orangtua. Seandainya saja Papa tidak pernah dimutasi ke
Jakarta, mungkin aku bisa mengulur senyum atau pun gurauan bersamanya. Dan mungkin
juga aku takkan sewas-was ini menampung orang asing di sini.
Ekspresi
pria itu nyaris seperti es. Dingin. Tak ada kehangatan yang kutangkap dari mata
obsidiannya. Anehnya, aku tak pernah mampu menyambutnya dengan sebuah
pertanyaan ; hai, siapa namamu? Buru-buru kuenyahkan pandanganku darinya. Dan
membiarkan pria itu memasuki biliknya untuk sehari saja
Kewarasanku
malam ini nyaris hilang 90 %. Entahlah, tak biasanya aku berbaik hati pada
orang asing. Tapi... Dia membuat perasaan ini tak mengerti. Bahkan melupakan
risiko yang akan kutanggung jika berani menampungnya di rumah berdua
dengannya. ‘Berdua’. Semoga saja Tuhan tak mengundang setan terliar hadir di
antara kami berdua.
***
Saat matahari tergantung tak sempurna di langit,
Erwin datang ke rumahku. Memberitahu siapa temannya yang menumpang di rumah.
Kepalaku bergerak kaku dan kulemparkan pandanganku pada pintu kamar yang masih
terkunci yang berada di depan kolam ikan. Aneh. Ada kebahagiaan yang menyelinap
nakal ke dalam hati.
Sudah
lama kunantikan ini....
***
Kala matahari tergantung sempurna di atas kepala. Dengan
keberanian yang terkumpul aku bertandang ke depan pintu kamarnya. Rasa gugup
kian memuncak saat tanganku berhasil mengetuk pintu dan pria itu berdiri tepat
di depanku.
Aku
masih tak percaya kalau Yoga Januar,
seorang penulis yang diam-diam sudah mencuri hatiku sejak lama karena setiap
bukunya yang kubaca. Jika saja dia mendengar isi hatiku, dia hanya akan
menjudge aku hanyalah seorang fans-nya yang wajar saja memiliki perasaan
seperti itu.
“Hai,
se-seharian ini kamu enggak keluar kamar. Kamu pasti belum makan,” kataku terdengar
kikuk. Oh, Tuhan, wajahnya yang tenang membuatku nyaris mampus.
“Sudah,
aku bawa beberapa snack di ranselku,”
jawabnya seadanya. Kemudian dia berbalik dan membelakangiku.
Sepertinya
dia adalah pria yang cukup praktis. Tak suka mengulur waktu. Tak suka berbasa-basi.
Hanya akan berbicara jika ada orang yang mengajaknya berbicara, jawabannya pun
hanya seperlunya saja.
Bola
mataku sempat berputar mencari topik yang bisa mengenyahkan rasa canggung.
Sialan! Sekian puluh detik aku terdiam. Lantas kusandarkan punggung di bibir
pintu, kali ini mataku bergerak liar menikmati punggungnya.
“Aku sudah lama mengagumi novelmu
yang ‘Benang Merah Untuk yang Mati’,” kataku saat pria itu sedang membereskan
pakaian ke dalam ranselnya.
Gerakannya
sempat terjeda. Termenung ketika suaraku hadir di ambang pintu dan menganggu
aktivitasnya. “Oh...” kering sekali jawabannya.
“Apa
aku boleh tahu, kenapa kamu berpikir orang yang sudah mati, benang merahnya
takkan pernah terputus dengan pasangannya yang masih hidup?”
“Hmm...”
Mulanya dia hanya berdeham. Lalu melanjutkannya, “Aku percaya, kelingking kita
terlilit oleh satu benang merah yang membentang pada belahan jiwa kita.
Meskipun belahan jiwa kita sudah mati, tetap saja garis takdir takkan pernah
terputus. Karena benang merah tak hanya berlaku di dunia saja tapi sesudah
kehidupan kita pun, itu masih berlaku,” pungkasnya panjang lebar.
“Apa
itu kisahmu?”
“Bisa
dibilang seperti itu,” jawabnya disertai suara risleting yang dirapatkan.
“Ba-bagaimana
kalau Tuhan menakdirkan berang merahmu untuk belahan jiwa yang lain di sini,
dia yang masih hidup?” diam-diam kulontarkan sebuah pertanyaan yang bisa memberiku
secarik harapan darinya.
Tubuhnya
berputar dan kali ini dia menatapku. Bisa kuarasakan tatapan dingin tanpa seulas
kehangatan dari matanya . “Tidak. Aku tidak percaya itu. Benang merahku masih
tersambung dengan dia yang sudah mati. Aku masih menjaga hatiku untuknya.”
Mataku
terpejam. Seolah itu adalah sebuah pukulan keras yang menyadarkanku bahwa tak
ada ruang sedikit pun untuk wanita lain di hatinya. “Baiklah. Maafkan aku sudah
menanyakan hal yang tidak sopan,” pungkasku sembari berlalu dengan mata yang
mulai mengembun. Perih.
***
Wajahnya tak setampan Jansen Ackles yang kudambakan. Dia berantakan, dingin. Persetan, seburuk apa pun penampilannya! Ada sisi menarik saat kutangkap hazel matanya. Kata orang; hal paling kejam yang bisa dilakukan laki-laki adalah membuat perempuan jatuh cinta padahal dia tak berniat membalasnya. Meskipun aku tahu, dia tak pernah sengaja membuatku terjatuh padanya.
Cinta memang tak mengenal situasi. Bahkan aku jatuh
cinta padanya karena sebuah novel yang kubaca, jauh sebelum aku bertemu dengannya.
Pertemuanku sehari dengannya, nyaris membuat otakku gila. Gila! Dalam sehari
kurajut sebuah mimpi berharap aku pemilik seutas benang merah yang terbentang
dengannya.
Kubiarkan dia pergi, tanpa kuutarakan hatiku yang sudah menggebu
padanya. Biarkan takdir mengalir adanya. Aku hanyalah perempuan yang hanya
menunggu Tuhan melintangkan benang merah kehidupan dengan dia, Yoga Januar. [ ]
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerpen /
Kampus Fiksi /
Kepenulisan
dengan judul Cerpen KF12-Benang Merah . Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://keepmirotic.blogspot.com/2015/04/cerpen-kf12-pertemuan-sehari.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Alfy Maghfira - Minggu, 05 April 2015
Hai Alfy! :D
BalasHapusTulisanmu menyenangkan dan menarik untuk dibaca, seperti biasa :D
Semangat menulis lagi, ya! :D