Melaju Di Atas Jalan
(Alfy Maghfira)
Hari
ini, tangisku terus keluar
memecah keheningan—menumpahkan seluruh lelah dan letih yang tertanam di dada. Dalam
laju perjalanan pulang ke rumah di bawah lengkungan langit bersemburat jingga,
tanganku yang mencengkeram roda kemudi perlahan mengendur, membiarkannya melaju
sesuai hati ini.
Jalan |
Airmata yang membuat perjalanan ini
melambat, namun suara klakson kendaraan lain pun menyadarkanku saat laju roda
ini melenceng ke tempat yang berbahaya. Ia memperingatiku, dan aku tahu harus
kembali melindasi jalan yang aman dan semestinya.
Sedikit menengadah, bantalan awan
terlihat merayap menyisir langit seirama dengan lajuku yang terus berjalan,
banyak hal yang kulewati, ada yang memikat dan memuakkan. Lalu sering pula aku
berpapasan dengan pengendara yang lain, ada yang tancap gas seperti kesetanan
adapula yang begitu lambat seperti ulat. Semua memiliki cara masing-masing
begitupula aku.
Hari
ini aku pulang dengan hati yang disesaki amarah, kebencian dan kecemburuan. Jalanan
yang terbentang ini memamerkan spektrum-spektrum yang berbeda-beda, perbedaan
itu pun membuat perjalanan ini kusadari tak begitu menjemukan. Seandainya semua
itu tak ada, bumi ini pasti sudah terlalu monoton untuk dilalui.
Kulihat
ada beberapa rumah yang membuatku semakin cemburu, seorang anak mengetuk pintu
dan sang ibu datang memeluknya-menciuminya dan menanyakan apa saja yang
dilakukannya hari ini, apakah lancar atau tidak. Adapula rumah yang begitu
senyap, hanya dedaunan kering yang terempas angin menyambutnya. Aku memahami
orang sepertinya pastilah merasa malas hanya untuk pulang ke rumahnya sendiri.
“Hai,
cepetan! Kok lambat banget bawa mobilnya!!” teriak seorang pengendara dari arah
belakang.
Teriakan
itu menyentakku untuk tidak membiarkan yang lain terhalangi jalannya karena
keegoisanku yang terlena dengan apa yang kulihat di depan mata. Adakalanya tak
mesti selalu melihat yang lain, jalanan harus terus kusisir, kupilih, dan
kupastikan ke manakah laju ini kan melindas.
Tak
terasa langit sudah dikawinkan dengan kegelapan. Jalanan pun semakin lama
semakin tertelan pekatnya malam, aku perlu memendarkan lampu kendaraanku,
menyoroti ke mana arah yang ingin kutuju, yang aman dan tak membuat celaka
pengendara lain. Hidup ini kusadari tak cukup hanya berbekal tubuh saja,
mutlaknya perlu perlengkapan.
Dalam
keadaan yang dipeluk sepi, terkadang menjemukan hanya menatap betapa genitnya
kedipan bintang, betapa beningnya supernova, betapa gemerlapnya pendaran cahaya
gedung dan perumahan jika di sampingku hanya bertemankan angin. Aku butuh
berceracau untuk mengisi kekosongan ini.
Aku pasti akan tersenyum selebar
dunia ini jika di atas laju jalan ini ada seseorang yang merecokiku, “Jangan
ngebut-ngebut!!” Aku tahu dia gusar, jika aku terlalu tergesa-gesa menjalani
hidup ini. Pasti dia akan mendengus kembali seperti ini, “Aku enggak mau mati
sekarang!”
Semua ingin mati dengan cara yang
elegan.
Underline: Personifikasi
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerpen /
Kampus Fiksi /
Kepenulisan
dengan judul Cerpen-Melaju Di Atas Jalan. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://keepmirotic.blogspot.com/2015/12/cerpen-melaju-di-atas-jalan.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Alfy Maghfira - Jumat, 25 Desember 2015
Belum ada komentar untuk "Cerpen-Melaju Di Atas Jalan"
Posting Komentar