Cinderella
Tanpa Sepatu Kaca
(Alfy
Maghfira)
Dan
mereka hidup bahagia selamanya....
Begitulah
dongeng berakhir. Pangeran akhirnya menemukan kaki seorang wanita yang pas
menyusupi lekuk sepatu kaca yang ditinggalkan sang putri di pesta dansa. Sepatu
kaca nan indah, melambangkan keanggunan dan kemewahan sang pujaan hati yang
didamba, hingga dicari sampai pelosok negeri.
Cinderella |
Siapa sangka, si pemilik sepatu kaca
itu adalah seorang wanita cemong, compang-camping yang hidup di depan bara api
dan dininabobokan oleh cericit tikus-tikus. Cinderallah, si manusia abu-abu.
Dongeng akan selalu berakhir bahagia.
Naza yang sedang menjala airmata
sejak pagi buta hingga senja menjadi gelap, karena rupanya tak sehalus sutra
yang ditenun, ataupun tak secemerlang supernova. Mata lelaki itu terlalu lemah
menahan serangan tabur bintang yang menghiasi wajah wanita yang baru
dikenalinya.
Mariana, wanita yang ia temui dua
hari lalu di depan layar bioskop. Semenarik apa pun adegan klise di film itu,
mata lelaki itu tak pernah berkedip mencari titk sempurna dari wanita yang
duduk disampingnya. Hanya malam itu saja ia terkena demensia. Tak sadar ada
bayangan lama yang selama ini terus bersamanya.
Jala airmata di pipi ini akhirnya
membentuk kesedihan dan kebencian. Kemudian ia berjalan keluar dari kamar,
memasuki kebun belakang. Berharap bisa menemukan ibu peri yang konon menyihir
Cinderella yang kumal itu menjadi sebening supernova.
Teriakannya memecah keheningan
malam.
Krik!
Krik!
Rupanya suara jangkrik membodohinya
sebagai ibu peri. Kemudian ia berlari menghampiri kolam ikan yang berada di
depan mata. Putik-putik embun matanya berjejalan dan berjatuhan ke atas kolam.
Riak air terlihat menggoyangkan pantulan wajah wanita itu yang tak rupawan.
Seketika ia pukul air itu hingga memercik wajah.
Rasanya ingin diremas saja wajah berminyaknya. Sekeras apa pun tangis
mengudara, tetap saja tak pernah ada ibu peri yang mau meminjamkan sepatu kaca
untuknya.
“Dasar manusia kurap!” ia menendang
sebuah buah melon yang tergeletak di atas tanah. Harusnya melon itu besok
dipanen, tapi ia tak mau memanennya. Ia pikir melon itu berguna untuk disihir
jadi kereta kencana. Biarkan saja jadi busuk, toh ibu peri bisa melakukan
segalanya.
Lantai dingin berselimut salju pun
mulai ia rasakan menusuk pembuluh darah kaki-nya. Kaki yang pucat bertelanjang,
tanpa sepasang sepatu. Tubuhnya mendadak seakan terkena mantra sihir, seluruh
jengkal tubuhnya berkilau bak permata. Lalu tiba-tiba saja salah satu melon di
kebunnya mengembang dan meledak berkilauan menjadi kereta kencana.
Rupanya peri salju datang dan
menyihir segalanya. Minyak jelantah yang dulunya merapal wajah wanita itu, kini
hilang dan rupanya beraura serupa bintang-bintang.
Peri berukuran kecil itu pun terbang
ke sana-kemari bagai lalat yang menggoda. Wanita itu merekahkan senyumnya bak
mawar yang bermekaran di musim semi. Semuanya sudah berubah, wanita itu
berbalut gaun biru nan mewah, bertaburan permata. Hingga jika kau pandangi ia
dari ratusan meter, matamu kan terkena siluetnya. Silau, hanya pancaran
wajahnya yang nampak bisa kau pandangi.
Ia melangkah, namun tetap saja
kakinya merasa ditusuk-tusuk kristal salju. Kening wanita itu mengernyit,
kenapa ia masih bertelanjang kaki?
“Ibu Peri, aku ingin sepasang
sepatu,” pintanya sembari menjinjit gaun birunya yang terjuntai hingga lantai.
Peri kecil itu tertawa melengking
hingga suaranya terpantul ke mana-mana. Wanita itu cukup merengutkan wajah,
ngeri dengan suara yang lebih mirip hantu.
“Sayangnya, aku tidak bisa
membuatkan sepatu itu untukmu,” katanya sambil mengitari wanita itu dengan
menggunakan kedua sayapnya yang tipis sekali.
“Kenapa? Bukankah Cinderella harus
memakai sepatu kaca?”
Peri itu tertawa kembali. Kemudian
terbang lebih dekat dan hinggap di pangkal hidung wanita itu. “Memangnya untuk
apa sepatu kaca?”
“Bukan Cinderella namanya kalau
tidak punya sepatu kaca, Peri,” jawab wanita itu. Ia tampak merengek dan
memohon pengertian.
“Pergilah! Kau akan tahu jawabannya
nanti!” Ibu Peri lekas mendorongnya memasuki kereta kencana berlapis emas dan
mutiara.
“Ta—tapi...,” suaranya tak
tersampaikan saat keretanya melesat melindasi jalanan yang sepi.
“Jangan lupa! Kalau kau tidak mau
ketahuan, kau harus pulang saat jam dua belas tepat!!” teriak Ibu Peri.
***
Sepanjang
jalanan yang ditumbuhi pohon-pohon ek, maple dan ginkgo.... sepanjang itu pula
jalanan penuh dengan hamparan dedaunan musim gugur. Kuning keemasan. Bak
permadani yang sudah menyambut kereta kencana itu sudah sejak lama.
Naza yang berubah menjadi Cinderella
pun senangnya tak terperi, namun ada kegelisahan dalam hati. Sepasang matanya
yang lancip seperti buah zaitun terus memandangi kedua kaki-nya yang telanjang.
tak bersepatu kaca. Meskipun gaun bertabur permata, tapi ia tak bisa percaya
diri jika harus melangkah dengan kaki yang kosong.
Kecemasan pun semakin meradang saat
denting lonceng pesta kerajaan mulai terdengar. Jarak semakin dekat. Bayang
kerucut atap kerajaan terlihat mencakar ke langit-langit. Bendera-bendera
berkibaran menghibur bintang yang bertaburan. Keringat Naza semakin mendesak
pori-pori. Ia tak pernah setegang ini dalam hidupnya.
“Bukakan pintunya!” teriak sang
kusir setelah kereta hampir mendekati gerbang raksasa.
Gerbang itu terbuka dengan gagahnya.
Jalanan terbentang kembali. Di ujung jalan terdapat tangga berlapis karpet
merah. Wanita dalam kereta dipersilakan melangkah keluar, tapi ia tercekat
sesaat—terus memandangi kakinya yang pucat.
Ia memicing—mengerahkan keberanian.
Naza merasa aneh, baru kali ini ia harus bertelanjang kaki ke pesta dansa.
Akhirnya ia mendorong pintu utama, semua tamu undangan kini menjadikannya
sebagai sumbu perhatian. Wajah yang berubah menjadi seperti kilau permata itu
nyaris seperti ditaburi bunga orchad, semburat merah-merona.
Ia terus berjalan, tanpa semua orang
sadari kakinya bertelanjang. Mereka terus menelanjangi sisi terbaik dari Naza,
yaitu wajahnya yang bersinar seperti supernova. Lalu bisik-bisik kekaguman
bersahut-sahutan dari mulut mereka. Wow! Khayalan Naza sunggu luar biasa!
Dari titik singgasana kerajaan
seorang pangeran berambut pirang dengan pakaian merah-nya tampak gagah menuju
satu-satunya wanita yang memikat hati di pesta dansa. Sepasang matanya yang
tegas terlihat berdebur hinggap ke arah Naza. Senyumnya yang selebar dunia ini
tak berkurang barang satu senti pun. Ia nyaris gila dan buta akan sekeliling
dunia di sekitarnya.
Sang pangeran menekuk sedikit lutut
belakangnya lalu menawarkan tangan untuk Naza. Wanita itu merengkuh tangan
pangeran dengan lemah gemulai, pangeran mengecup punggung tangan Naza sembari
terus mengarahkan belaian matanya pada wanita ajnabi yang baru pertama kali
dilihatnya.
“Maukah kau berdansa denganku?”
tawarnya seakan selurik kalimat itu lebih indah daripada nyanyian merdu di telinga
Naza.
Semua mata terus memandangi mereka
berdua. Ada yang menatap perih, mengilat-marah, cemburu dan data-datar saja.
Naza lupa akan kakinya yang kini bertelanjang menginjak lantai mewah pesta
dansa. Ia bergerak gemulai, tangan saling ditautkan dengan Pangeran. Pria itu
tersenyum terbuai oleh sihir kecantikan sang peri. Tak peduli, siapa pun wanita
yang kini beputar-berdansa dengannya, hari ini ia tersihir oleh pendaran kedua
matanya.
“Siapa kau?” keduamatanya yang tegas
terus melekat kuat menyelami apa yang ada di balik tatapan Naza.
Bibir ranum Naza sedikit mekar saat
ia takjub menatap kedua manik mata sang pangeran. Pertanyaan itu membuat Naza
berpikir keras, apa yang harus dijawabnya. Jujur atau bohong? Seandainya
Pengeran tahu tentang dirinya, sudikah ia tetap menautkan tangannya dengan
Naza? Perlahan Naza merenggangkan jaraknya dengan Pangeran.
“Seorang wanita yang berharap kau
menatapku,” tandas Naza menyisakan kesan ambigu.
“Aku sudah menatapmu. Jadi siapa
namamu? Darimana kau?” lanjut Pangeran memberondong rasa penasarannya.
Suasana pesta dansa semakin riuh.
Semua orang mulai berpasang-pasang seiring irama musik berubah menjadi penuh
gairah tidak semelow saat Pangeran dan Naza berdansa. Di sudut ruangan
terdengar dentingan gelas yang saling disinggungkan—tanda kebersamaan setiap
bangwasan. Tak lupa suara gelak tawa terdengar bersahut-sahutan mendengar salah
satu dari mereka berlelucon. Hanya dua manusia di tengah lantai dansa yang
saling menatap, diam seribu bahasa. Menebak pikiran masing-masing dan sang
pangeran terus bertanya dalam benak. Siapakah gerangan?
“Aku....”
Teng!
Teng! Teng!
Raungan lonceng jam memasuki tengah
malam membuat segalanya tercekat, semua mendengar bunyi itu. Termasuk dengan
Naza, gadis itu gelisah dan jantung berdegup kencang. Sebuah dentuman yang kan
menelanjangi siapa ia sebenarnya. Menguak seluruh kepalsuan yang menjadi
topengnya. Naza menatap pangeran sesaat dan berlari—berlomba bersama waktu.
Baru kali ini merasa sangat takut
terhadap waktu yang terus berjalan. Seolah setiap detik itu siap membinasakan
seluruh mimpinya jika sedetik saja terlambat. Naza terus berlari, tak peduli
Pangeran terus berteriak-teriak dan memintanya berhenti. Behenti pada waktu
yang teramat mengerikan baginya. Jika ia berhenti berlari, dan membiarkan waktu
menjawabnya... ia takut segalanya tak sesuai dengan harapan. Ia tak percaya
dengan keadaan dirinya dan pada hati sang pangeran.
Saat pelariannya dari Pangeran, Naza
harus melandai puluhan anak tangga yang sebelumnya terlihat mewah saat ia
pertama kali masuk ke istana. Ia sekarang tak bisa menikmati setiap jalan yang
dilaluinya meskipun berlapis permadani, ia risau karena waktu untuknya semakin
sempit dan terus mendesaknya untuk berlari dan sembunyi.
“Tutup gerbangnya!!” teriak sang pangeran
kejauhan.
Pori-pori kulit Naza terus diluapi
keringat yang mulai melindapi pelipisnya. Dada yang berdebar sesak. Ia
mencari-cari kereta kencana di pelataran istana, kedua pengawalnya dan seorang
kusir yang telah mengantarkannya. Tapi... mereka tidak ada! Mereka tidak ada!
Naza sadar ia telah kehabisan waktu,
segalanya telah terenggut waktu.
Gaun birunya yang mewah nun elegan
kini berubah kembali menjadi gaun pink yang compang-camping. Wajahnya yang
berseri seperti permata, kembali ke asal—mengilat dihinggapi minyak. Rambutnya pun
tak sehalus sutra lagi, kusut seperti benang. Ia bukan siapa-siapa lagi.
“Di mana dia??” Pangeran sudah tiba
di pelataran istana. Sepasang matanya mencari-cari wanita cantik nun megah yang
baru saja merenggut hatinya. Tidak ada. Tidak ada siapa-siapa, hanya ada
seorang wanita berpakaian kumal yang berdiri di depannya.
Naza tertunduk malu. Ini jauh lebih
menegangkan dari pada harus berhadapan dengan seorang algojo. Pangeran lalu
memicingkan mata, menerawang siapa wanita itu. Wanita itu terlihat sama sekali
tak pantas berdiri di atas megahnya tanah istana.
“Siapa kau?” tanya Pangeran
terdengar angkuh.
Nada suaranya terdengar asing—terdengar
suram dan mengerikan daripada saat Pangeran bertanya saat ia masih dikelilingi
sihir ibu peri.
“Ak—aku...,” lidah Naza tercekat. Ia
tak mampu menandaskan ucapannya dan mengakui siapa ia sebenarnya.
Seandainya ia memiliki sepatu kaca,
pasti ia dengan mudah akan membuat Pangeran percaya bahwa ia adalah wanita yang
telah berdansa dengannya. Tapi ia tak seberuntung itu. Tak secuil pun sisa-sisa
sihir itu tertinggal padanya. Tak ada.
“Katakan! Atau... kau... ini
penyusup, hah?!” desis Pangeran. Nada suaranya penuh dengan kecurigaan. Dunia
ini terlalu semu untuk mempercayai dan terlena pada setaip orang. Apalagi ia
seorang Pangeran, bisa saja wanita compang-camping ini hanya topeng belaka dan
tenyata seorang utusan dari musuhnya.
“Ti—tidak... bukan itu, Pangeran.
Sa—saya bukan penyusup. Su-sungguh,” sanggah Naza. Keduamatanya nanar, entah
dengan cara seperti apa ia harus mengatakan siapa ia sebenarnya. Padahal waktu
telah memberikannya kesempatan untuk mengatakan kejujuran pada Pangeran saat ia
masih bermandikan kemewahan. Tapi ia menyia-nyiakan waktu itu, ia tak jujur
secepatnya.
Dan... jika sekarang Naza jujur, apa
ia akan percaya?
“Lalu kau siapa?” tatapan Pangeran
mengintimidasi.
“Sa-saya... wanita yang tadi
berdansa denganmu, Yang Mulia,” tukas Naza. Ekor matanya mulai dijatuhi
embun-embun hangat. Ia harap Pangeran mampu mengenalinya meskipun wujudnya jauh
dari kata cantik nun anggun.
Mata Pangeran seakan melonjak, dan
tiba-tiba suaranya tergelak memecah keheningan malam. Lelucon! Ini benar-benar
lelucon! Kemudian ia menatap nyinyir Naza sembari tersenyum sinis, “jangan
berbual dan jangan bermimpi! Kau kira aku ini buta?!!” Suaranya penuh dengan
penekanan.
Jantung Naza seakan tergodam,
remuk-redam! Pangeran tak mengenali ataupun mempercayainya. Ia menutup mulut,
tak percaya. Bagaimana bisa? Bukankah Pangeran terlihat jatuh hati padanya saat
berdansa tadi. Sekarang dada Naza terasa termega-megap, ia merasa sesak
mengetahui kenyataan ini.
“Tangkap dia!!!”
“Yang Mulia, saya... Naza, wanita
yang berdansa dengan Anda. Kumohon, percayalah!” teriak Naza, saat tubuhnya
mulai diseret paksa oleh para pengawal kerajaan.
“Penipu,” desis Pangeran sembari
berbalik meninggalkan Naza.
Lalu tatapan macam apa tadi? Apa itu
hanya tatapan ilusi, yang penuh dengan kebohongan, terlena dengan kepalsuan
yang Naza usung di depan matanya. Menyembunyikan hal terjujur dari dirinya.
Pangeran tak pernah benar-benar jatuh cinta dan percaya pada pandangan pertama.
Ia hanya percaya akan keindahan fatamorgana yang dlihatnya tapi menghilang
sekejap mata. Fatamorgana yang sesungguhnya adalah Naza yang tercampakan karena
tak menyisakan jejak sedikit pun. Memang siapa yang mau percaya dengan dongeng
Cinderella?
Naza meringkuk diri dalam jeruji
besi, di atas jerami seperti binatang ternak yang siap dikuliti. Meniti airmata
yang telus menjala di pipi—menyesali waktu yang digunakan dengan kepalsuan.
Hanya kejujuran yang kan memancing terkasih kan datang kepadanya.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Cerpen /
Kepenulisan
dengan judul [Cerpen] Cinderella Tanpa Sepatu Kaca. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://keepmirotic.blogspot.com/2015/12/cerpen-cinderella-tanpa-sepatu-kaca.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Alfy Maghfira - Selasa, 29 Desember 2015
Belum ada komentar untuk "[Cerpen] Cinderella Tanpa Sepatu Kaca"
Posting Komentar