My Books

My Books
Araska Publisher, 2014. Ellunar, 2014, 2015, 2015.
I LOVE KAMPUS FIKSI - #KAMPUSFIKSI12

Cerpen - Malaikat Tak Pernah Lelah

Diikutkan Dalam Lomba Cerpen ‘Angels of Morning Star Club’


Malaikat Tak Pernah Lelah
(Alfy Maghfira)
Mata panda sudah kumiliki sejak satu bulan terakhir kini. Tubuhku seperti pohon maple gundul penuh guratan luka di batangnya. Tersiksa. Meskipun angin pagi hari  terasa segar bagi orang lain, tapi dadaku begitu sesak. Tenggorokanku terasa tersumbat batu kerikil, sesak... sesak sekali.
          Matahari yang tergantung di atas kepalaku terasa menyengat, membakar kulit. Panas yang tersorot menerpa tubuh kekarnya, tak membuat kayuhan sepeda Ayah terhenti.
          Ayah..., maafkan aku....
          Bisikanku tak mampu mengudara. Hanya air mata yang menjadi bahasa untuknya secara diam-diam. Aku duduk di boncengan sepeda Ayah. Tanganku tercengkeram kuat pada ujung bajunya. Bau keringat terendus. Aku menikmatinya, setiap cairan yang menyeruak pori-porinya, tak lain adalah wujud kasih sayang yang tak pernah usai darinya untuk putrinya, aku, Alfy Maghfira.
          “A-ayah. Jalannya menanjak. Lebih baik aku jalan saja,” usulku seraya berusaha menjangkau wajah Ayah yang tetap lurus menyisir jalanan beraspal menuju rumah sakit umum.
          Desahan dahaganya terdengar. Hatiku meringis. Rasanya ingin kuteriak, “AYAH SUDAH CUKUP, AKU TAK MAU TERUS MENYIKSAMU KARENAKU!” Tapi kalimat itu hanya menjadi diary dalam hatiku. Aku membutuhkan Ayah.
          “Jangan, kakimu gak akan kuat buat jalan,” timpal Ayah di sela-sela embusan napasnya yang memburu udara.
          Setelah bibir Ayah terkatup. Embun hangat dari ekor mataku mulai menyeruak, mengutuki nasibku. Keberadaanku di dekat Ayah hanya akan menjadi racun yang perlahan bisa membunuhnya. Aku tak lebih dari sebuah virus mematikan baginya. Tapi Ayah... dia tak pernah peduli bahaya yang mengancamnya. Tak pernah. Hanya aku... hanya aku yang ada di pikirannya.
***
Langkah kakiku seperti robot uji coba. Kaku, limbung. Tak jarang wajahku selalu mencium tanah ketika kakiku tak mampu menopang tubuhku. Tapi jika Ayah selalu ada di dekatku, tangannya yang penuh dengan garis-garis keras kehidupan memapahku—melindapi koridor rumah sakit.
          Wajah-wajah pucat berada di sekelilingku. Aku meringis, tapi Ayah tak pernah menunjukkan ekspresi sepertiku.
          “Duduk dulu di sini, Ya. Ayah mau ambil dokumen rekam medismu, Fy,” kata Ayah sembari mendudukkanku di atas bangku panjang yang berada di tepi koridor. Aku duduk berderet dengan mereka yang sama-sama tengah berjuang untuk tetap hidup.
          Hampir setengah jam, kami menunggu. Ya, hampir setiap hari Ayah membawaku ke rumah sakit umum yang cukup jauh dari rumah. Bahkan kami pun harus menunggu mengantri mendapatkan rekam medis untuk diserahkan ke poli yang akan memeriksaku.
          Ayah tersenyum lega, ketika namaku dipanggil. Dengan penuh semangat Ayah mengantarku ke Poli Dalam (Poli yang menangani penyakit organ dalam tubuh) yang berada tak jauh dari ujung koridor administrasi, kami hanya tinggal belok ke kanan. Meskipun dekat, sungguh... kakiku terasa layu untuk terus berjalan. Diam-diam aku tersenyum getir saat Ayah kembali memapahku seperti balita.
          Terimakasih, Ayah. Seandainya Tuhan membiarkanku berumur panjang. Kelak suatu saat aku yang akan mengurusimu seperti malaikat. Ayah, kau adalah malaikat terindah yang kupunya.
          Lagi-lagi dan lagi kami harus menunggu giliran untuk diperiksa. Masih dengan kesetiannya, Ayah tetap berdiri di sampingku tanpa peduli embusan setiap napas di sekitarnya bisa menyarangkan penyakit menular di paru-parunya.
          “Alfy Maghfira!” teriakan pria dari dalam ruangan.
          Susah payah aku berusaha menarik tubuhku dari bangku. Ayah kembali memapahku ke dalam ruangan seraya mengenggam selebaran hasil scan paru-paru-ku dari ruang radiologi (Ilmu pengobatan yang menggunakan sinar X atau sinar radioaktif untuk mengetahui penyakit).
          Pria paruh baya dengan rambut hampir memutih tengah berdiri menyambutku. Dia tersenyum, senyum hangatnya sering kunikmati hampir setiap hari. Mungkin dia hampir bosan melihatku, menyambangi ruangannya. Well, hanya ke sini jalanku untuk tetap hidup.
          Ayah duduk di sampingku seraya menyerahkan rekam medis-ku. Dokter Sumpena mulai membuat kerutan di wajahnya saat melihat hasil akhir pemeriksaan penyakitku. Lalu mendongak, menatapku dan Ayah secara bergantian.
          Bibirnya bergerak, memberitakan berita yang membuat masa depanku seakan suram terhalangi awan mendung, tak bisa kuprediksi—kapan aku bertahan hidup. Dan Ayah... oh, tidak, ketangguhannya sedikit tergoresi oleh guratan kesedihan di wajahnya. Embun hangat yang tak seharusnya jatuh untukku akhirnya luruh melindapi pipinya.
***
Hari demi hari. Bulan demi bulan. Ayah tak pernah lelah mengingatkanku untuk menelan obat tepat waktu. Pil-pil merah yang harus kuminum 3x sehari sudah seperti permen bagiku.
          Ayah, sekali lagi aku ingin berbisik padamu, kau adalah malaikat tak bersayap yang selalu setia merawatku. Seandainya waktu mengenankanku berumur panjang, ‘kan kubuat sepasang sayap kebahagiaan di antara hidupmu. Hingga kau bisa terbang menikmati indahnya dunia bersamaku. Terimakasih, Ayah....
SEKIAN

         




Share 'Cerpen - Malaikat Tak Pernah Lelah' On ...

Ditulis oleh: Alfy Maghfira - Sabtu, 07 Maret 2015

Belum ada komentar untuk "Cerpen - Malaikat Tak Pernah Lelah"

Posting Komentar