My Books

My Books
Araska Publisher, 2014. Ellunar, 2014, 2015, 2015.
I LOVE KAMPUS FIKSI - #KAMPUSFIKSI12

Cerpen Anak-Jangan Rugi

Jangan Rugi
(Alfy Maghfira)
Ukh! Lala menggerutu karena jadwal olahraga ditetapkan jam 9 siang. Pikir Lala, kalau jam 9, ‘kan panas. Selepas pelajaran Matematika, semua anak-anak kelas dua SD Nusa Bangsa diwajibkan berukmpul di lapangan sepakbola, begitupula dengan Lala.
olahraga
sumber: kidnesia.com

            “Ayo anak-anak semuanya berbaris. Satu barisan sebanyak 10 orang,” ujar Pak Azhar. Beliau adalah guru olahraga. Terkadang Lala suka geli kalau melihat kumis Pak Azhar yang tipis banget. Jadi inget ayah di rumah.
            Belum juga olahraga dimulai, Lala sudah merasa kepanasan. Keringat-keringat udah pada nempel di kulit, Lala menggerutu kembali, “Pak, kita olahraganya di kelas aja. Panas.”
            Pak Azhar tersenyum kemudian menimpali Lala, “Lala, kalau olahraganya di kelas, kalian enggak akan bebas bergerak.”
            Bibir Lala cemberut. Dia kecewa. Sementara Pak Azhar meniupkan peluit yang sering dikalungkan di lehernya.
            Priiit!!!
            Bunyi peluit itu sontak membuat anak-anak membuat 3 barisan. Pak Azhar menyuruh merentangkan tangan kemudian melakukan gerakan kepala ke kiri-kanan sambil menghitung hingga 10.
            Tapi Lala tetap saja tidak bersemangat, rambut Lala yang diekor kuda terasa udah lepek gara-gara bau keringat. Lala tidak ikut menghitung, dan gerakannya pun tidak kompak dengan teman-temannya.
            Lala tahu kalau olahraga itu membuat tubuh sehat. Dia ingat ucapan ibu yang sering mengajak Lala lari pagi tapi Lala menolak, “Ayo, Lala. Kita lari pagi, ini kan hari minggu. Kalau kita olahraga secara teratur, tubuh kita bakal sehat. Enggak akan loyo,” ajakan ibu setiap hari minggu.
            “Enggak mau ah, capek,” timpal Lala. Biasanya hari minggu Lala sering menghabiskan waktu untuk menonton kartu.
            “Capek, karena kamu belum biasan, Nak,” nasihat ibu membekas di pikiran Lala. Sekarang Lala yang dijadwalkan olahraga setiap hari Rabu pun masih malas-malasan dan banyak alasan. Contohnya tadi, Lala mengeluh panas, capek.
            Ibu benar....
            Kemudian Lala menjadi semangat. Dia mengangkat kepalanya. Aduh, Lala udah banyak ketinggalan gerakan senam dari Pak Azhar. Nina, yang tidak lain teman sebangku Lala terlihat jauh bersemangat daripada Lala. Nina tersenyum kemudian berkata, “Lala, ayo semangat!”
            Senangnya, ternyata Nina adalah teman yang baik. Lala enggak mau kalah sama Nina. Sekarang, Lala ikut berhitung merentangkan tangan dan menggerakannya ke atas-bawah. Usai olahraga, badan Lala jadi segar dan bertenaga. Rasanya ingin cepat hari minggu, Lala tidak sabar ingin ikut lari pagi bersama ibu.
***
Hari Minggu.
Pagi ini, ibu merasa aneh melihat Lala memakai baju olahraganya yang berwarna merah. Sementara ibu dan ayah  juga sudah memakai baju olahraganya. Lala sudah duduk di ruang tamu menunggu keduaorangtua-nya keluar dari kamar.
            “Loh, Lala tumben nih enggak nonton kartun?”
            Tiba-tiba Lala cemberut. “Ikh, Ibu. Lala ‘kan mau ikut olahraga sama Ibu. Biar badan Lala sehat kayak Ayah dan Ibu,” ujar Lala sambil bersedekap.
            Ibu dan ayah tersenyum senang. Kemudian ibu duduk di samping Lala dan membelai rambut Lala yang dikuncir dua. “Senangnya, ternyata anak ibu itu anak yang baik. Ayo kalau begitu!” seru ibu sambil meraih tangan Lala sebelah kanan.
            “Gitu dong! Olahraga ‘kan enggak rugi, Nak. Malah badan kamu bakal sehat bugar dan kuat kayak Popay! Masa, sering nonton kartun Popay tapi eggak tahu kesehatan. Popay juga sering olahraga berarti Lala juga mesti olahraga secara teratur,” kata ayah sembari meraih tangan Lala yang sebelah kiri.
            “Uukh, Ayah! Popay kan sehat karena suka makan bayam bukan olahraga,” Lala menggerutu tapi akhirnya tersenyum bahagia.

END

Resensi Learning from Butterflies - Karina Nurherbiyanti

Resensi Learning From Butterflies

Sama-sama pintar dan Kuliah di Singapura.
Olga anak fashion management dan Juandra anak mathematical sciences. Keduanya berjuang untuk meraih impian. Lalu, setelah serangkaian momen yang tadinya membuar mereka sering bertengkar, saat itulah  the-so-called chemistry menghampiri.
Sumber : rumahtukangbuku.wordpress.com


Judul               : Learning from Butterflies
Penulis             : Ping!! Diva Press
Tahun terbit     : Maret 2015
Tebal hal.         : 224 Halaman

Sebenarnya novel yang berarti ‘Belajar dari Kupu-kupu’ ini bagiku trouble yang dialami pada masing-masing tokoh enggak terlalu pas jika dibandingkan dengan kepompong. Ini hanya pendapatku saja. Masalah yang dibahas di sini terlalu klise dan datar-datar saja. Hanya, nilai plus dari novel yang disajikan oleh Karina Nurherbiyanti yang sukses membuat cerita mengalir, natural, dan berkali-kali bikin aku ketawa dengan dialog antar tokoh-nya sehingga aku bisa menikmati cerita sampai akhir.
Diawali dari prolog yang menceritakan Olga Romala seorang mahasiswi dari Indonesia yang belajar di LASALLE, Singapura, yang doyan banget stalking blogger Juandra Bela Bangsa mahasiswa di NTU. Dan kelakuannya itu sudah tentu diketahui oleh Enggar, yang tak lain teman satu kamar Olga. Well, dari sana aku mulai menangkap si Olga diam-diam suka sama Juandra. Praktis Juandra mulai merasa dirinya punya viewers rahasia. Ya, secara pengunjung blog-nya meningkat drastis.
Bab pembuka menyajikan cerita di mana Olga suka sama Juandra hanya saja Olga dan Juandra suka banget adu mulut. Tapi... tapi di sini si Olga digosipin suka sama Darren gara-gara doyan mention nama Darren di twitter. Hal yang mengganggu di sini, siapa Darren itu? Dan enggak dijelaskan kenapa Olga suka mention Darren, tapi nyatanya malah membantah mentah-mentah gosip itu. Plus, di sini juga Olga ingat lagi sama mantan pacarnya yaitu Alam. Mahasiswa UI jurusan Kedokteran.
Di bab satu aku nemuin dialog yang enggak nyambung antara Juandra dan Olga.
“Lo nggak nangis karena Darren udah punya pacar, kan?” tanya Juandra masih dengan nada meledek. Ia letakkan tangannya di atas bahu Olga.dengan tatapan penuh empati. “Gue nggak nyangka loe serapuh itu.”
“Nggak, lah. Gue enggak sedih karena itu, kok. Lagunya mellow banget sih, gue jadi kebawa suasana.”
“Lo sabuk cokelat, kan?”
Olga mengangguk. “Tapi gue udah stop judo,kok, pascakelas 3 SMA kemarin karena sibuk persiapan UN.”
“Ya, lo harusnya sudah melewati tes-tes yang involve air panas dan jalan batu kerikil, masa cuma denger lagu ginian aja nangis? Gue juga belum punya pacar kok, nyantai aja kali nggak usah diambil hati.”

(Hal. 20) 

            Loh, kok? Kan awalnya si Juandra ledekin Olga gara-gara nangis. Terus Olga jawab enggak. Tapi sebagai cowok waras, ya, masa sih langsung nanya sabuk judo si Olga. Kan bingung juga. Tapi setelah si Olga jawab pertanyaan sabuk itu. Juandra nimpalin jawaban yang seharusnya buat perkataan Olga yang nangis gara-gara lagu. Apa ini dialog yang tertukar, ya? Hahahah. Aku sempat baca berkali-kali di sini. Khawatir, aku lagi gagal paham.
            Lanjut ke bab-bab berikutnya, sejujurnya aku suka pendeskripsian setting-nya yang terasa real. Tapi penulis tampaknya terlalu pendeskripsikan hal-hal yang menurutku enggak penting dan gak berpengaruh sama jalan cerita. Contoh yang waktu dialog di Morton SteakHouse, Esplanade. Ada dialog yang waktu pesan steak tapi bagiku itu terlalu bertele-tele. Ngapain sih dipanjang-panjang gitu? Itu enggak berhubungan, kan?
            Tapi beberapa ambisi tokoh di sini cukup memberikan pelajaran terhadap para orangtua yang terlalu mengekang putra-putrinya masuk ke jurusan yang diinginkan. Ya, biarlah si anak berkreatifitas dengan passion-nya. Toh enggak ada yang sempurna di dunia ini. Jika para orangtua menuntut standar tinggi pada anak-anaknya kebanyakan si anak bakal memberontak atau diam di tempat tanpa mau mencari impiannya.
            Dan aku menilai itu dari masalah Juandra dan Junika yang dituntut tinggi oleh papa-nya harus serba sempurna di semua mata kuliah/pelajaran.
            Lanjut ke tengah bab, hubungan Olga dan Juandra mulai semakin dekat dan bahkan lebih terbuka dengan masalah masing-masing. Plus, kedekatan mereka itu akibat imbas dari niat Salman yang tak lain teman sekamar Juandra, yang lagi pedekate sama Enggar.
            Aku suka dengan ceritanya yang enggak monoton . Yang enggak berkutat di dua tokoh, tapi tokoh yang lain juga ikut dan mewarnai kehidupan tokoh utama. Ya, seperti yang tadi kuceritakan gara-gara si Salman, Juandra dan Olga jadi deket.
            Aku sempat senyam-senyum waktu Juandra yang juga sadar suka sama Olga, hanya saja dia enggak punya cukup keberanian buat mengungkapkannya. Dia melakukan hal modus, yaitu ngasih Egg Tart lewat teman Olga. Baik Olga dan Juandara yang sama-sama suka, tapi tidak pernah mengetahui perasaan satu sama lain. Hingga pada akhirnya  Olga memberanikan diri buat mengutarakan perasaanya pada Juandra . Tapi Olga merasa minder karena Juandra adalah cowok yang super pinter yang memenangkan banyak olimpiade. Dibandingkan dengan Olga yang merasa enggak ada apa-apanya.
            Dan sejak saat itulah Olga dan Juandra pacaran. Disusul sama Salman dan Enggar. Sebenarnya Enggar sempat suka sama Ridho-saingannya Salman waktu SMA, sekaligus sepupu-nya Mariska yang tak lain mantan Juandra yang kelakuannya sama kayak Alam, masih ngebet sama mantan masing-masing.
            Di sini aku enggak cukup puas sama endingnya. Di mana Juandra harus magang di Swiss, dan terpaksa Olga mau enggak mau mesti melepas dulu sang kekasih selama 4 bulan. Aku meras isi novel ini belum mewakili judul novelnya. It’s my opinion. Catatan, novel ini terlalu banyak dialog yang enggak penting, deskripsi yang bertele-tele, bahasa inggris yang kebanyakan.
            NB: Aku masih belum menemukan apa impian Juandra sebenarnya? Padahal diceritakan Juandra cinta sama matematika. Tapi kenapa dia merasa enggak nyaman waktu papa-nya maksa dia masuk Mathematica Science?