My Books

My Books
Araska Publisher, 2014. Ellunar, 2014, 2015, 2015.
I LOVE KAMPUS FIKSI - #KAMPUSFIKSI12

St. Schmidtess

St. Schimidtess
(Alfy Maghfira)
“Hei, siapa namamu?”
          Tatapan Hana teralihkan ke luar jendela—menatap pohon-pohon di tepi jurang saling berkejaran seiring keretanya terus bergerak. Ia tak menghiraukan pertanyaan pria berpakaian tuxedo di depannya. Sekelumit masalah menenggelamkan seluruh kesadarannya.
          “Nona?” Ia mengulanginya, keningnya berkerut samar.
          Gadis dengan rambut pirangnya itu masih tetap tergeming. Hatinya tak sedikit pun lumer terhadap pria tampan yang terus bertanya padanya. Manik mata biru terangnya kini mendarat pada seorang pelayan yang sedang mendorong meja troli-nya terisi makanan. Pria paruh baya dengan kumis meliuk di tepi bibirnya menyematkan senyum terbaiknya. Troli itu mulai melintasi kursi Hana.
          “Nona, apa Anda ingin sesuatu untuk dimakan? Kereta Ekspress Shcmidtess menyajikan Pastry bertabur gula rendah kalori yang cocok untuk Anda atau Anda mau secangkir cokelat panas?” Ia menatap gadis berkulit susu di tepi jendela yang masih menatapnya linglung.
          Sementara Marcus Cho, pria di depan gadis itu masih mempertahankan kerutan di keningnya, menyadari ada yang aneh dengan gadis yang tak diketahui namanya itu.
          “Pergi bodoh!! Aku tidak membutuhkan apa pun!” teriaknya tiba-tiba. Figurnya yang terlihat lembut tak sesuai dengan sikapnya yang kasar. Yeah, suaranya menembus pintu yang terkuak dan tersambung dengan gerbong-gerbong di sebelahnya seiring lajunya mulai melambat ketika melewati tikungan yang curam.
          “Tidak sopan!!” sungutnya sembari berlalu mendorong trolinya kembali. “Anak seperti dia tidak pantas sekolah di Schmidtess!” lanjutnya ketus.
        “Hai, kau! Dasar tua bangka!! Memangnya siapa yang mau sekolah macam penjara itu? Hah? Kakiku saja terasa kebas lama-lama berdiri di kereta yang diisi orang-orang bernasib sial!” timpal Hana. Nada suaranya beroktaf-oktaf. Semua penumpang yang berada dalam satu gerbong dengannya tampak tersentak. Ikut meracau, mengutuki mulut pedas Hana.
          Marcus Cho mengangkat sebagian alisnya. “Apa kau bilang? Bernasib sial?!” kali ini pria itu tak menunjukkan suara lembutnya. Ia ikut tersulut emosinya. Yeah, lidah Hana seperti pisau yang menggores perasaan Marcus Cho.
          “Kau tahu? Schmidtess adalah sekolah asrama terbaik di London dan hanya para keturunan bangsawan saja yang bisa mengenyam pendidikan di sana!” papar Marcus. Giginya tampak mengertak, geram. Well, ia tak terima sekolah yang dikepalai oleh ayahnya sendiri disebut penjara.
          “Cih! Persetan apa yang kau katakan!” timpal Hana pedas.
          “Siapa kau, hah? Apa kau sadar? Hampir semua calon murid St. Schmidtess yang duduk di sini tersakiti perasaannya oleh lidahmu itu.“ Marcus menyilangkan lengannya di dada. Tubuhnya terlihat semakin atletis seiring usianya beranjak ke angka 17.
          Dagu Hana terangkat begitu pula dengan dadanya yang membusung, congkak. “Aku... Hana Dutch!” ucap Hana. “Tak habis pikir, kenapa orangtuaku begitu nekat membiarkanku terpenjara di sekolah Inggris. Apa yang istimewanya di sini. Sekolah Jerman jauh lebih bergengsi daripada di sini, tapi mereka sungguh bodoh,” lanjut Hana semakin menggila meracau tentang orangtuanya.
          “Tutup mulutmu! Sebentar lagi kau akan dapat hukuman, Nona Dutch!” desis Marcus dengan seringanya yang mematikan.
          Pria itu berlalu meninggalkan gadis yang terbalut gaun dengan rok berlipitnya. Wajah Hana memang cantik di mata Marcus tapi lidah gadis itu seperti pedang yang mampu membunuh semua perasaan orang di sekitarnya.
          “Shit!” dengus Hana dengan sepasang matanya yang terhunus tajam pada pria yang lebih memilih duduk di kursi paling depan.
         Kau akan tahu rasanya sebuah kilas hukuman yang perih bagi orang-orang bermulut pedas di St. Schmidtess, Nona Dutch.  Marcus mencuri pandangan saat gadis berambut pirang tergelung itu duduk kembali dengan wajah tegangnya.
***
Well, hari pertama menginjakkan kaki di St. Schmidtess menjadi hari tersuram bagi Hana Dutch. Murid baru tingkat 1 SMA.  Gurat-gurat kesombongan di wajahnya masih tetap terukir jelas di wajahnya meskipun Kesiswaan St. Schmidtess memanggilnya—terkait sikap tak terpujinya saat di Kereta Ekspress Schmidtess.
          “Kenapa Anda bersikap seperti itu?” Pria tua kisaran 60-an itu memiliki kumis serabut di tepi bibirnya. Kerutan di wajahnya membuat tatapan cemooh dari Hana.
          “Karena aku benci di sini,” desisi Hana tak sedikit pun ia gentar terhadap Prof. Dacenlake, yang memiliki sorot mata tajamnya seperti kucing.
          “Anda benci? Baiklah, akan kuajari bagaimana caranya mencintainya,” pungkas Prof. Dacenlake seraya menarik Hana keluar dari ruangannya dan menyeretnya menuju menara yang memiliki nama Dacenlake. Anak tangga di menara itu terasa tak berujung. Kaki Hana terasa hampir patah. Well, itu hukumannya.
         
         





         


Share 'St. Schmidtess ' On ...

Ditulis oleh: Alfy Maghfira - Sabtu, 07 Maret 2015

Belum ada komentar untuk "St. Schmidtess "

Posting Komentar