My Books

My Books
Araska Publisher, 2014. Ellunar, 2014, 2015, 2015.
I LOVE KAMPUS FIKSI - #KAMPUSFIKSI12

Cerpen-Kata Para Semut

Kata Para Semut
(Alfy Maghfira)
Dinding toilet rumah ini warna hijaunya sudah mulai pudar. Sementara kaki runcing kami tetap mencakar tembok  lembap ini. Kami adalah makhluk yang kooperatif, tak memiliki keculasan seperti manusia. Lihatlah kami yang memiliki jiwa berbagi dan bergotong royong memboyong remah-remah yang selalu manusia remehkan di setiap gigitan rezekinya.
          Tap... tap... tap....
          Di saat kami berjalan begitu tenang ditemani tetesan air keran yang tertahan di ember besar yang dasarnya sudah berlumut, tiba-tiba ada suara anak perempuan mengganggu aktivitas kami.
          “Lihat! Anak perempuan itu? Menyedihkan sekali, bukan?” Semut yang berada di belakangku berseloroh.
          Sambil berjalan lamat-lamat, kami memerhatikan anak perempuan berambut tergerai, badan mungilnya terbalut kaus putih bertuliskan ‘sweetest’ sedang berjongkok di balik pintu toilet yang sudah hampir lapuk digerogoti rayap-rayap. “Kenapa dia menangis seperti itu? Aduh! Rasanya telingaku sakit sekali dengan suara teriakan kasar dari rumah ini!” Aku bertanya dan tiba-tiba saja telingaku terasa berdengung mendengar suara yang beroktaf-oktaf yang sarat dengan emosi meletup-letup.
          “Apa kau tak mengerti juga dengan teriakan dua orang berbeda jenis kelamin di rumah ini? Jika kau jadi anak perempuan itu apa kau akan menangisinya?” Semut di belakangku masih terus melontarkan pertanyaan yang tentu saja membuatku tidak mengerti. Sementara semut-semut lain mulai tersenyum sembari memboyong remah-remah ikan bandeng yang berhasil kami keruk di balik lemari dapur.
          “Memangnya siapa mereka? Dan kenapa aku harus menangisi kedua orang yang sedang beradu mulut itu?”
          “Kau semut baru di rumah ini. Sudah sepatutnya kau mengetahuinya,” katanya tanpa berniat berpindah posisi ke sampingku. Kami para semut memang memiliki komitmen untuk terus berjalan pada formasi dan alurnya.
          “Coba beritahu aku, apa yang kau tahu dari manusia di rumah ini?”
          Remah-remah ikan bandeng di atas punggungnya terlihat diangkat sedikit, aku tahu dia tampak kerepotan karena ukuran remah-remah di antara semua semut, hanya miliknyalah yang terbesar. Lalu dia mulai berbicara, “kedua orang itu adalah orangtua dari si anak perempuan yang sedang menangis itu,” jawabnya sembari menginterupsiku untuk melirik anak perempuan yang masih tak puas membuat telaga kecil di pipinya.
          Aku menganggut-anggut dan masih enggan berbicara.
          “Kau tahu? Kata manusia bijak ; orangtua yang bertengkar di depan muka anaknya secara tidak langsung sudah menanamkan racun di dalam karakter anaknya. Lihat anak itu, apa yang bisa dia perbuat? Dia hanyalah anak ingusan yang hanya bisa mendengar dan melihat tapi tak mampu berteriak. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan anak untuk mengatasi masalahnya hanya dengan menangis.”
          Lubang para semut di dasar tembok mulai terlihat, aku belum sempat menjawab ocehan kawanku karena mataku beberapa detik terfokus pada lubang yang dua kali lebih besar dari lubang jarum. “Tapi, pasti ada alasan kenapa orangtuanya bertengkar,” tukasku.
          Kawanku sempat tertawa kecut meskipun aku tidak bisa menatapnya yang masih tertib berjalan di belakang. “Manusia adalah makhluk yang suka menumpahkan darah, banyak membuat alasan, melingkarkan cincin masalah di kehidupannya tanpa mau melepaskan, membuat hal remeh menjadi segunung dan itulah penyakit mereka. Dan, pertengakaran mereka dikarenakan si istri mengeluh dengan penghasilan suaminya. Aku sudah bosan mendengar keluhan itu setiap hari, dan, si anak itu juga sudah cukup lama mendengar hal yang tak pantas didengarnya,” papar kawanku seolah dialah si anak perempuan itu yang masih ditawan pesakitan sendirian.
          “Hmmm... Begitu. Kawan, tidak ada makhluk yang sempurna di dunia ini begitu pula dengan manusia yang digadang-gadang sebagai makhluk paling sempurna di antara yang lain. Kita harus memaklumi setiap kekurangannya. Dan, menurutku si istri wajar saja mengeluh seperti itu pada suaminya, itu berarti suaminya kurang bekerja keras,” timpalku. Tak terasa jarak kami dengan lubang itu sudah tinggal beberapa sentimeter lagi.
          “Tapi... Apa kau melupakan si anak? Apa yang akan terjadi nanti di masa depannya? Seperti apa karakternya? Aku yakin, pertengkaran orangtua di depan anak itu adalah racun ampuh untuk menyebarkan penyakit pada karakternya. Dia tidak akan jauh beda dengan perangai buruk orangtuanya. Mungkin akan lebih buruk lagi daripada orangtuanya.” Kawanku mengingatkan hal terpenting yang hampir kulupakan. Astaga! Itu benar!
          Kulirik anak perempuan itu lagi, dan dia masih tetap berjongkok sambil menahan tangis yang sesenggukan. Sementara suara orangtuanya terus mengudara menghantam pendengaran si anak dan menambah ketakutannya. Oh, sungguh menyedihkan anak manusia itu.
          “Ti-tidak! Remah-remahmu jatuh, kawan!” teriakan semut lain yang kupikir berada di belakang kawanku terdengar nyaring dan membuat langkah kami terhenti.
          “Ada apa?” tanyaku panik setelah kepalaku berhasil menengoknya.
          “Remah-remahku tersapu angin yang cukup kencang dari jendela itu."
          “Apa?! Kalau remah-remahmu hilang, nanti kau kelaparan!” seruku ikut panik.
          Aneh. Ekspresi kawanku justru begitu tenang tak ada riak kekhawatiran terhadap ancaman kelaparan yang bisa membuat hidupnya tamat. “Tidak apa-apa. Tuhan tidak akan pernah membiarkan makhluk-Nya mati kelaparan, karena setiap makhluk sudah memiliki jatah rezekinya masing-masing. Begitu pula kita para semut, lihat tubuh kita yang begitu tipis ini masih diberi rezeki dari remah-remah, bukan? Yasudah, kawan. Aku harus kembali lagi mencari remah-remah. Semoga kita bisa berjumpa lagi lain waktu,” pungkasnya sembari membalikkan badan hitamnya.
          Sementara aku hanya menatapnya penuh kesenduan. Para semut akan jarang sekali berjumpa dengan semut yang sama dan ini yang kusedihkan, kukira kami akan pulang di waktu yang sama, tapi karena keadaan kami harus berpisah. Hal terpenting baru saja kusadari saat ini adalah seseorang yang berada di dekat kita. Kehilangan remah-remah bisa dicari, tapi kehilangan kawan, kapan lagi kita akan berjumpa?
          Kutatap sekali lagi anak perempuan itu, lagi-lagi dia masih betah menangis. Seandainya saja aku bisa berteriak  seperti manusia, aku akan berteriak pada kedua orangtuanya ; Diamlah! Kalian sudah meracuni anak kalian! Jika kalian tetap seperti itu, aku tak yakin cambuk seperti apa yang akan Tuhan layangkan di masa depan terhadap kalian dan anak kalian!
SEKIAN

#FiksiRacun

Share 'Cerpen-Kata Para Semut' On ...

Ditulis oleh: Alfy Maghfira - Minggu, 19 April 2015

2 komentar untuk "Cerpen-Kata Para Semut"

  1. suka bangeeettt.. banyak kata-kata bisa dijadikan pelajaran. Sukses terus ya mbak, keep writing :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak sudah berkunjung ^^ Jangan lupa mampir lagi, ya.

      Hapus