My Books

My Books
Araska Publisher, 2014. Ellunar, 2014, 2015, 2015.
I LOVE KAMPUS FIKSI - #KAMPUSFIKSI12

Cerpen KF12-Benang Merah

Benang Merah
(Alfy Maghfira)
Tujuh hari yang lalu mataku bertemu di udara dengannya, Yoga Januar. Pipiku matang, terpanggang sebuah cinta yang membara dan berharap menjadikanku abu yang bisa ditiupkan padanya. Dengan menjadi abu, bisa kucumbui setiap lekuk wajahnya.

***
            Tok! Tok! Tok!
            Ketukan itu terus berirama nyaring ke seluruh penjuru telinga. Argh! Tidurku harus terjaga. Sialan! Jarum jam baru saja mendarat di angka 11, tapi kenapa ada orang malam-malam begini mampir ke rumah.
            Dengan rasa kantuk yang begitu kental di wajahku, kugugah seluruh tenaga mencapai pintu ruang tamu yang hanya menghabiskan 10 langkah dari kamar.
            Cklek!
            Samar-samar kulihat dua sosok adam tengah berdiri di depanku. Yang rambutnya cepak bisa kukenali wajahnya, si kampret Erwin, sepupuku.  Dan yang satu lagi... Wajah asing mulai kuamati. Rambutnya yang gondrong dan berantakan. Hatiku merutuk liar, ikh... Berantakan amet. Kayaknya dia udah berhari-hari gak mandi.
            “Ay, loh, kok, malah bengong, sih?” Erwin mulai mengomel saat bola mataku masih begitu nyaman mengumpat penampilan teman prianya yang begitu lusuh.
            Aku bersedekap dan mengangkat dagu. “Win, ada perlu apa malem-malem kamu ketok pintu? Nyadar enggak, sih? Kamu udah ganggu waktu tidurku...,” desisku layaknya ular yang terganggu dari tidur panjangnya.
            Erwin Aprilio mencondongkan tubuhnya ke dekatku hingga beberapa senti dari jarakku berdiri. “Ay, gue enggak ada waktu buat jelasin sama lu. Tapi, gue mau minta tolong sama lu. Di sini ‘kan banyak kamarnya. Jadi gue mau nitip temen gue buat numpang bobo selama 1 hari,” lidahnya begitu ringan meminta hal yang nyaris membuat emosiku langsung meradang hingga stadium 4.
            Mata yang semula memandanganya malas-malasan, mendadak harus kuruncingkan. “Apa? Gila! Kamu mau bikin aku sama temenmu ini di-RT-in sama warga, hah?!”
            Ekspresi pria di samping Erwin terlihat ‘tanpa dosa’. Tak ada angin atau pun ombak yang beriak dari wajahnya. Datar. Tenang. Seolah ucapanku tak mengundang kekecewaan untuknya.
            “Please. Lu ‘kan tahu, gue sekamar sama Radit. Mana mau adek gue berbagi ranjang sama orang asing.  Masa gue mesti taroh dia di sofa?”  
           Sepasang mataku sempat mengintai suasana jalan atau sudut rumah tetangga yang berada depan rumah. Cemas, kalau-kalau ada tetangga yang mengawasi kami layaknya polisi yang siap menggerebek para kupu-kupu malam bersama kumbang-kumbang bertanduk belang.
            “Sini!” Dengan kecepatan cahaya kutarik lengan pria yang masih belum kuketahui namanya ke dalam rumah. “Kamu cepat pulang! Aku kepaksa tampung dia di kamar belakang! Tapi... Kalau sampai ada apa-apa. Kamu yang tanggung jawab, ya, Win!”
***
“Untuk sementara kamu tidur di sini,” kataku dingin setelah kuentakkan pintu kamar yang berada di halaman belakang rumah.
            Terasa sial itu, ketika menjadi anak sulung, hanya bertemankan sepi dan angin di rumah tanpa adik atau pun orangtua. Seandainya saja Papa tidak pernah dimutasi ke Jakarta, mungkin aku bisa mengulur senyum atau pun gurauan bersamanya. Dan mungkin juga aku takkan sewas-was ini menampung orang asing di sini.
            Ekspresi pria itu nyaris seperti es. Dingin. Tak ada kehangatan yang kutangkap dari mata obsidiannya. Anehnya, aku tak pernah mampu menyambutnya dengan sebuah pertanyaan ; hai, siapa namamu?  Buru-buru kuenyahkan pandanganku darinya. Dan membiarkan pria itu memasuki biliknya untuk sehari saja
            Kewarasanku malam ini nyaris hilang 90 %. Entahlah, tak biasanya aku berbaik hati pada orang asing. Tapi... Dia membuat perasaan ini tak mengerti. Bahkan melupakan risiko yang akan kutanggung jika  berani menampungnya di rumah berdua dengannya. ‘Berdua’. Semoga saja Tuhan tak mengundang setan terliar hadir di antara kami berdua.
***
Saat matahari tergantung tak sempurna di langit, Erwin datang ke rumahku. Memberitahu siapa temannya yang menumpang di rumah. Kepalaku bergerak kaku dan kulemparkan pandanganku pada pintu kamar yang masih terkunci yang berada di depan kolam ikan. Aneh. Ada kebahagiaan yang menyelinap nakal ke dalam hati.
Sudah lama kunantikan ini....
***
Kala matahari tergantung sempurna di atas kepala. Dengan keberanian yang terkumpul aku bertandang ke depan pintu kamarnya. Rasa gugup kian memuncak saat tanganku berhasil mengetuk pintu dan pria itu berdiri tepat di depanku.
            Aku masih tak percaya kalau  Yoga Januar, seorang penulis yang diam-diam sudah mencuri hatiku sejak lama karena setiap bukunya yang kubaca. Jika saja dia mendengar isi hatiku, dia hanya akan menjudge aku hanyalah seorang fans-nya yang wajar saja memiliki perasaan seperti itu.
            “Hai, se-seharian ini kamu enggak keluar kamar. Kamu pasti belum makan,” kataku terdengar kikuk. Oh, Tuhan, wajahnya yang tenang membuatku nyaris mampus.
            “Sudah, aku bawa beberapa snack di ranselku,” jawabnya seadanya. Kemudian dia berbalik dan membelakangiku.
            Sepertinya dia adalah pria yang cukup praktis. Tak suka mengulur waktu. Tak suka berbasa-basi. Hanya akan berbicara jika ada orang yang mengajaknya berbicara, jawabannya pun hanya seperlunya saja.
            Bola mataku sempat berputar mencari topik yang bisa mengenyahkan rasa canggung. Sialan! Sekian puluh detik aku terdiam. Lantas kusandarkan punggung di bibir pintu, kali ini mataku bergerak liar menikmati punggungnya.
          “Aku sudah lama mengagumi novelmu yang ‘Benang Merah Untuk yang Mati’,” kataku saat pria itu sedang membereskan pakaian ke dalam ranselnya.
            Gerakannya sempat terjeda. Termenung ketika suaraku hadir di ambang pintu dan menganggu aktivitasnya. “Oh...” kering sekali jawabannya.      
            “Apa aku boleh tahu, kenapa kamu berpikir orang yang sudah mati, benang merahnya takkan pernah terputus dengan pasangannya yang masih hidup?”
            “Hmm...” Mulanya dia hanya berdeham. Lalu melanjutkannya, “Aku percaya, kelingking kita terlilit oleh satu benang merah yang membentang pada belahan jiwa kita. Meskipun belahan jiwa kita sudah mati, tetap saja garis takdir takkan pernah terputus. Karena benang merah tak hanya berlaku di dunia saja tapi sesudah kehidupan kita pun, itu masih berlaku,” pungkasnya panjang lebar.
            “Apa itu kisahmu?”
            “Bisa dibilang seperti itu,” jawabnya disertai suara risleting yang dirapatkan.
            “Ba-bagaimana kalau Tuhan menakdirkan berang merahmu untuk belahan jiwa yang lain di sini, dia yang masih hidup?” diam-diam kulontarkan sebuah pertanyaan yang bisa memberiku secarik harapan darinya.
            Tubuhnya berputar dan kali ini dia menatapku. Bisa kuarasakan tatapan dingin tanpa seulas kehangatan dari matanya . “Tidak. Aku tidak percaya itu. Benang merahku masih tersambung dengan dia yang sudah mati. Aku masih menjaga hatiku untuknya.”
            Mataku terpejam. Seolah itu adalah sebuah pukulan keras yang menyadarkanku bahwa tak ada ruang sedikit pun untuk wanita lain di hatinya. “Baiklah. Maafkan aku sudah menanyakan hal yang tidak sopan,” pungkasku sembari berlalu dengan mata yang mulai mengembun. Perih.
***
 Wajahnya tak setampan Jansen Ackles yang kudambakan. Dia berantakan, dingin. Persetan, seburuk apa pun penampilannya! Ada sisi menarik saat kutangkap hazel matanya. Kata orang; hal paling kejam yang bisa dilakukan laki-laki adalah membuat perempuan jatuh cinta padahal dia tak berniat membalasnya. Meskipun aku tahu, dia tak pernah sengaja membuatku terjatuh padanya.
          Cinta memang tak mengenal situasi. Bahkan aku jatuh cinta padanya karena sebuah novel yang kubaca, jauh sebelum aku bertemu dengannya. Pertemuanku sehari dengannya, nyaris membuat otakku gila. Gila! Dalam sehari kurajut sebuah mimpi berharap aku pemilik seutas benang merah yang terbentang dengannya.
            Kubiarkan dia pergi, tanpa kuutarakan hatiku yang sudah menggebu padanya. Biarkan takdir mengalir adanya. Aku hanyalah perempuan yang hanya menunggu Tuhan melintangkan benang merah kehidupan dengan dia, Yoga Januar. [ ]


           









Share 'Cerpen KF12-Benang Merah ' On ...

Ditulis oleh: Alfy Maghfira - Minggu, 05 April 2015

1 Komentar untuk "Cerpen KF12-Benang Merah "

  1. Hai Alfy! :D

    Tulisanmu menyenangkan dan menarik untuk dibaca, seperti biasa :D

    Semangat menulis lagi, ya! :D

    BalasHapus