My Books

My Books
Araska Publisher, 2014. Ellunar, 2014, 2015, 2015.
I LOVE KAMPUS FIKSI - #KAMPUSFIKSI12

Cerpen-Emosi

Emosi
Alfy Maghfira
emosi
Sumber: aldakwah.org

Suatu hari kau membiarkanku menggiringmu ke rumah Fulanah. Kau mengetuk pintu tidak sabaran, bahkan suaramu terdengar kasar. Aku tidak puas jika kau hanya memakai oktaf yang rendah. Kau pun menurut dan semakin mengerahkan pita suara. Satu menit hingga tiga menit berikutnya, orang dari dalam rumah pun belum kunjung keluar.
            Aku tidak suka jika kau hanya berdiri tenang, dadamu tidak berdebar, matamu tidak garang. Berikutnya aku menyulut mulutmu dan kau pun berteriak lagi, “Keluar! Buka pintunya!”
            Tak lama, kau pun melihat Fulanah bertudung biru, gamis polos terjuntai di badannya yang kurus. Matanya yang teduh merambat lurus ke arahmu. Aku tidak suka jika kau luluh hanya karena pandangan setan itu. Sekarang aku mengorek bagian luka di kepalamu juga di tubuhku. Biar kau merasa sakit lagi. Biar kau ingat lagi. Biar kau tidak mudah memaafkan Fulanah. Biar dia tahu, kalau kau terluka!
            “Akang, maafin Eneng. Eneng enggak punya kekuatan buat bantah perintah Abah sama Emak.” Bicara Fulanah kentara dengan aksen sunda.
            Aku pun berbisik seperti ini, “Kau harus memakinya. Apa kau tidak punya harga diri? Kau itu laki-laki, tunjukkan kalau kau bisa lebih dari lelaki pilihan orangtuanya.
            “Saya punya harga diri, Neng! Katakan sama si Abah dan Emak, saya bisa cari uang yang banyak. Saya bisa belikan anaknya emas, mobil bahkan berpuluh-puluh hektar tanah!” Aku bertepuk tangan karena kau penurut ulung.
            “Akang! Abah enggak sedangkal itu seleranya,” Fulanah berusaha membentak tapi suaranya terlalu gemulai untuk mengentak kau dan aku.
            Lalu aku mengoyak lagi isi kepalamu, kau harus ingat, kemarin kau mendengar berita kalau Fulanah sudah dijodohkan dengan Fulan—si juragan yang tanahnya berpetak-petak. Sedangkan kau? Hanya tukang mie bakso gerobak dan tinggal di rumah sewaan.
            “Apa lagi alasannya kalau bukan masalah duit?”
            “Kau harus mengeraskan rahang!”
            Kau mengeraskan rahang dan menatap tajam Fulanah. Biar Fulanah tahu kau tidak main-main dengan tekadmu.
            “Akang..., sekarang Eneng merasa yakin, “ ucap Fulanah diikuti dengan air pasang yang meluap dari sudut matanya.
            “Kau tidak boleh lemah! Ingat kau sudah diinjak-injak! Jangan lemah gara-gara airmatanya!” Aku mengingatkan kau lagi saat kepalamu tertunduk seakan menyesali mulutmu itu.
            “Ternyata pilihan Abah tidak pernah salah. Ternyata pilihan Eneng yang salah. Akang kasar, tidak sopan. Eneng enggak suka itu, Kang. Maaf, Kang. Mulai sekarang jangan ganggu hidup Eneng lagi!!”
            Brukk! Suara debuman pintu tertutup. Sekarang kau sadar, kesempatanmu sudah tertutup rapat. Kau pun berlutut menyedihkan di depan pintu. Meraung-raung menyebut namanya, biar dia tahu kau amat mencintainya. Kau terus menyebut namanya sampai kau lupa, sudah kehilangan harga dirimu di depan rumahnya. Kau lupa... kau tak pernah mampu mendamaikanku. Kau tak pernah mampu mendamaikan emosimu bersamaku. Aku yang diam sebagai hatimu.
            “Kau menjajahku dengan emosimu!”
           
#NulisBarengAlumni
#Perdamaian



Share 'Cerpen-Emosi' On ...

Ditulis oleh: Alfy Maghfira - Kamis, 14 Januari 2016

Belum ada komentar untuk "Cerpen-Emosi"

Posting Komentar