My Books

My Books
Araska Publisher, 2014. Ellunar, 2014, 2015, 2015.
I LOVE KAMPUS FIKSI - #KAMPUSFIKSI12

Cerpen-Dusta Ayah

Dusta Ayah
Alfy Maghfira
 
cerpen
sumber: merdeka.com
Mata mengilat menafsirkan beribu prasangka yang melesat ke cakrawala. Ia duduk bersisian dengan debur ombak yang seakan mengikis ruang hatinya. Sempit. Hanya dicucuri masa lalu yang belum tandas meskipun waktu terus menggiring tanpa batas. Tanpa batas yang diasumsikan oleh manusia.
            Saat jingga bertaburan di langit, ia lekas menunggu seseorang sambil terus meretaskan airmata—menatap sang mega yang hendak dibunuh samudera.
 Sepuluh tahun yang lalu, pasir yang terhampar luas ini selalu diriuhi dua pasang kaki. Mencetak jejak kenangan di atas lapisan. Riak ombak menemani tawa yang terus tergelak bersahut-sahutan. Mereka duduk bersisian di atas batu yang terlalu kuat digerogoti lautan.
            Ayah berkata saat itu, “Ayah pernah melihat matahari biru terbenam di sini.” Ia menyusupkan lengan di antara leher putranya.
 “Wah? Beneran, Yah? Tapi hari ini kenapa mataharinya merah?”
            Pria itu berjanggut dan kulitnya seakan sering terbakar mentari. Ia tersenyum kecil—senyum yang hanya dinikmati Putra 10 detik lamanya. Sampai senyum itu membias menjadi ucapan lagi, “Kamu harus menunggunya, Nak. Berharap melihatnya. Waktu tak pernah terbatas kalau kamu bersabar.”
            “Kapan Ayah terakhir kali melihatnya?”
            “Ayah lupa, Nak,” timpal Ayah seraya membiarkan bolamata-nya menyisir langit yang kian padam dikawinkan dengan kegelapan.
            Desau angin berhambur dari daratan, Ayah bangkit dan mengerti akan bahasa alam itu. Angin yang menariknya ke pesisir pantai, bertemankan perahu dan jala ikan. Putra sering kali merengek saat Ayah ijin mengarungi lautan, menjala ikan tuk dibakar berduaan. Terakhir kali , Ayah bicara seperti ini, “Lihat matahari terbenam kalau merindukan, Ayah.” Ia mengecup puncak kepala Putra. “Ayah, janji akan pulang secepatnya.”
***
            Sepulang dari sekolah, Putra lekas berlari ke pesisir pantai. Ia berlarian ke sana-kemari seperti angin yang sedari tadi bermain-main dengan pasir. Meniupnya, terkadang membentuk gunungan. Menunggu kapal-kapal kecil ke tepian. Menunggu matahari biru tergelincir ke lautan. Dalam ruang hatinya yang tanpa batas, terus mengukir lusinan kata ‘menunggu’ hingga dasawarsa menambatkan umurnya.
            Putra sering kali dianggap gila, yang terus menjebak diri dalam labirin masa lalu. Menganggap sang ayah belum menunaikan janjinya. Tetangga-tetangga yang sering melewatinya tak pernah puas untuk mengumpat. “Bapaknya udah lama mati. Pantes aja dia gila.”
            Telinganya tidak tuli. Bibir pun tidak bisu. Mata pun tidaklah buta. Tapi ia hanya ingin sendiri—menikmati waktu yang katanya tanpa batas. Tanpa batas untuk menunggu sang ayah yang tak pernah muncul dari lautan. Ayah yang pernah berkata melihat matahari biru terbenam. Putra merasa terjebak dalam labirin harapan kosong. Harapan yang terus dibuai sang ayah.
            Padahal orangtua terkadang bicara omong kosong, membuat lelucon demi mengembangkan senyuman anaknya. Putra selalu menepisnya. Putra berasumsi lagi, “Ayah tidak pernah dusta. Aku akan menunggunya di sini.”



Share 'Cerpen-Dusta Ayah' On ...

Ditulis oleh: Alfy Maghfira - Kamis, 07 Januari 2016

Belum ada komentar untuk "Cerpen-Dusta Ayah"

Posting Komentar