My Books

My Books
Araska Publisher, 2014. Ellunar, 2014, 2015, 2015.
I LOVE KAMPUS FIKSI - #KAMPUSFIKSI12

Cerpen-Kata

Kata
(Alfy Maghfira)
hurt
sumber: 10-themes.com
Maudy merasa benci saat sinar matahari membelai wajahnya. Cahaya-cahaya itu menembus bebas kaca jendela kamarnya. Dia merusak tidurnya, dia merusak mimpinya, dia terus saja membangunkannya. Maudy mengerang, untuk beberapa saat ia memicing marah pada sang mega yang selalu angkuh menghardik mimpinya. Kenapa harus ada matahari?
            “Kapan sih dunia ini kiamat?!”
            Pantulannya terlihat di cermin yang tergantung di dinding. Ia kusut masai. Air mukanya keruh. Sorot matanya pun bergemuruh. Maudy melihat kenangan buruk dari lensa matanya. Ada banyak mozaik kehidupan yang tersimpan dari dalam. Maudy mengepal kedua tangan. Seberapa keras pun ia bersikap defensif, tetap saja ia akan jatuh lagi. Jatuh ke dalam kebencian.
            “Maudy! Sudah bangun?” Suara Mama terdengar samar dari balik pintu. Maudy menatap sarkas pintu kamarnya yang bercat merah. Warna yang serupa dengan emosinya akhir-akhir ini.
             Meskipun matahari terus bersinar, langit masih berwarna biru terang, burung-burung masih senang berkicau, dan angin masih terasa sejuk, tapi Maudy... kehilangan senyumnya. Ia tak pernah bisa membual lagi di depan banyak orang. Hatinya tak selapang cakrawala, ia begitu sempit untuk menerima sebuah kata sederhana di hidupnya.
            “Maudy...,” Mama kembali lagi menyapa. Sekarang ketukan pintu terdengar membantu suara Mama.
            Airmata Maudy hampir tandus. Tentu saja, ia sudah mengurasnya selama satu minggu ini setelah mendengar kabar yang membuat segala dunianya terasa kiamat. Mimpi-mimpinya seperti meteor-meteor yang berjatuhan, meluluh lantahkan dunianya.

***


Hari ini Maudy masih berbalut seragam putih-abu-abu, ia baru saja keluar dari gerbang sekolah. Biasanya Maudy sering pulang bareng teman sekelasnya naik busway, tapi tiba-tiba Bang Atma—kakak tertua Maudy—sudah nangkring bareng Jazz hitamnya, buat menjemput Maudy. Maudy merasa heran, ada badai apa nih, enggak biasanya.
            Bang Atma berpose malas-malasan di depan mobilnya. Ia menyandarkan punggung sembari bersedekap, bermuka kecut. Tak segaris pun senyum tersungging dari bibirnya. Maudy tidak menampik, walaupun abangnya terlihat urakan, tapi gestur wajahnya gak kalah ganteng sama Dimas Anggara.
            Abang gue emang agak gesrek. Ngapain sih pasang wajah gitu. Senyum dikit, kek. Asem banget!
            Datang-datang Maudy pun enggak kalah kecut wajahnya dari Bang Atma. “Ada apaan nih, baru kesambar geledek, ya?” Cukup memuakkan juga nada ketus Maudy di telinga Bang Atma.
            “Udah, deh, mending lu cepet masuk. Ntar lu juga tahu sendiri. Dan... gue harap sih, adek gue yang masih dedek-dedek gemes ini enggak nangis seember pas pulang ke rumah,” timpal Bang Atma setengah tertawa hambar di depan Maudy.
            “Apaan sih, Bang?!” Wajah Maudy merengut. Justru mulut abangnya itu udah bikin Maudy penasaran sepanjang jalan. Tapi beruntung, mood Maudy hari ini sedang secerah pelangi.
            Ucapan Kak Yoga—cowok yang ia sukai—terus ter-paste di otaknya, kemarin ia sempat ketemu cowok berkacamata itu di Bareto Coffee, dia bilang begini, “Dek Maudy, besok-besok enggak usah repot-repot datang ke sini. Nanti Kakak bakal ngajar di rumah Maudy.”
            Sepanjang hari ini, Maudy kehilangan kewarasannya. Senyam-senyum sendiri, sampai mukanya matang kayak habis dipanggang.
            “Dek, yang tabah, ya,” tiba-tiba Bang Atma berceletuk aneh saat Jazz-nya berhenti tepat di depan muka rumah didominasi cat hijau muda.
            Suasana rumah terlihat tidak biasanya. Sekarang ramai dipadati beberapa mobil kerabat jauhnya. Mama lagi ngadain syukuran, ya. Maudy masih sepolos kanvas tak berwarna, ia tak pernah menduga apa pun, takdir apa yang kan terlukis di kanvas kehidupannya. Ia hanya tahu, bahwa ia sendirilah yang sedang berusaha melukis kanvasnya dengan mimpi-mimpinya.
            “Ikhlas, ya, Dek!” Bang Atma menepuk bahu Maudy. Lantas ia segera  ke dalam rumahnya. Terlihat banyak tamu yang tengah berbincang bersama kedua orangtuanya.
            Maudy semakin keheranan melihat semua orang berpakaian formal, apalagi Mama, “Kok Mama pakai kebaya, sih?” Maudy menatap Mama dari atas hingga ke bawah, kemudian menangkap busana Papa yang tidak kalah formal, “Papa juga. Memang mau ke kondangan, ya?”
            Mama membelai puncak kepala Maudy yang dibingkai rambut hitamnya yang jatuh sepinggang. “Maudy, maaf, ya, Mama enggak bilang-bilang.”
            “Bilang apaan sih, Ma?”
            “Kamu pasti senang, Nak. Tuh lihat Kak Renata.” Mama menunjuk seorang perempuan yang familier, tapi hari ini penampilannya berbeda jauh dari biasanya.
Kak Renata memang cantik, tapi... melihat rambutnya yang tersanggul, badannya melekuk indah dibalut gaun birunya yang menyempit hingga pinggang dan mengembang di atas paha, membuat Maudy semakin dihujani tanda tanya, ada apa sebenarnya?
“Hari ini kakakmu mau dilamar sama Yoga, dia kan yang sering nemenin kamu belajar,” papar Mama sembari menatap haru Kak Renata yang terduduk malu di sudut ruangan, tanpa menyadari ekspresi Maudy yang berubah keruh mendengar nama itu terlontar dari lidah mamanya.
Ikhlas, ya, Dek!
Bolamata Maudy yang serupa buah zaitun, terlihat mengembun. Ia mencari-cari keberadaan Bang Atma. Cewek itu merasakan hatinya seakan ditusuk-tusuk sembilu, kata-kata ikhlas Bang Atma, menyadari akan satu hal. Ia harus ikhlas melepaskan seseorang yang dicintainya untuk kakaknya sendiri. Maudy berhasil menangkap raut muka Bang Atma yang berbeda dari semua orang, hanya dia yang tahu perasaan Maudy saat ini. Bang Atma tampak mengangguk. Maudy tahu, Abang menyuruh Maudy tegar dan ikhlas, bukan?

***
“Maudy... Mama tahu kamu masih terluka, Nak. Tapi Mama harap kamu bisa ikhlas. Maafin Mama, ya, Nak. Mama harap Maudy mau memaafkan Kak Renata dan Kak Yoga,” Mama terus berjuang di balik pintu kamar kokoh Maudy agar anaknya lekas bangun dan menata hidupnya.
Mama, ikhlas memang mudah dikatakan di lidah. Tapi itu bukan ikhlas, Ma. Maudy akan bangun jika ‘ikhlas’ sudah bisa diterima di hati Maudy, Ma. Maafin, Maudy, Ma. Aku belum ikhlas atas segalanya....

Tasikmalaya, 28 Januari 2016

#KampusFiksi #Ikhlas

Share 'Cerpen-Kata' On ...

Ditulis oleh: Alfy Maghfira - Kamis, 28 Januari 2016

Belum ada komentar untuk "Cerpen-Kata"

Posting Komentar