My Books

My Books
Araska Publisher, 2014. Ellunar, 2014, 2015, 2015.
I LOVE KAMPUS FIKSI - #KAMPUSFIKSI12

[Cerpen] Cinderella Tanpa Sepatu Kaca

Cinderella Tanpa Sepatu Kaca
(Alfy Maghfira)

Dan mereka hidup bahagia selamanya....
Begitulah dongeng berakhir. Pangeran akhirnya menemukan kaki seorang wanita yang pas menyusupi lekuk sepatu kaca yang ditinggalkan sang putri di pesta dansa. Sepatu kaca nan indah, melambangkan keanggunan dan kemewahan sang pujaan hati yang didamba, hingga dicari sampai pelosok negeri.
cerpen
Cinderella

            Siapa sangka, si pemilik sepatu kaca itu adalah seorang wanita cemong, compang-camping yang hidup di depan bara api dan dininabobokan oleh cericit tikus-tikus. Cinderallah, si manusia abu-abu. Dongeng akan selalu berakhir bahagia.
            Naza yang sedang menjala airmata sejak pagi buta hingga senja menjadi gelap, karena rupanya tak sehalus sutra yang ditenun, ataupun tak secemerlang supernova. Mata lelaki itu terlalu lemah menahan serangan tabur bintang yang menghiasi wajah wanita yang baru dikenalinya.
            Mariana, wanita yang ia temui dua hari lalu di depan layar bioskop. Semenarik apa pun adegan klise di film itu, mata lelaki itu tak pernah berkedip mencari titk sempurna dari wanita yang duduk disampingnya. Hanya malam itu saja ia terkena demensia. Tak sadar ada bayangan lama yang selama ini terus bersamanya.
            Jala airmata di pipi ini akhirnya membentuk kesedihan dan kebencian. Kemudian ia berjalan keluar dari kamar, memasuki kebun belakang. Berharap bisa menemukan ibu peri yang konon menyihir Cinderella yang kumal itu menjadi sebening supernova.
            Teriakannya memecah keheningan malam.
            Krik!
            Krik!
            Rupanya suara jangkrik membodohinya sebagai ibu peri. Kemudian ia berlari menghampiri kolam ikan yang berada di depan mata. Putik-putik embun matanya berjejalan dan berjatuhan ke atas kolam. Riak air terlihat menggoyangkan pantulan wajah wanita itu yang tak rupawan.
            Seketika  ia pukul air itu hingga memercik wajah. Rasanya ingin diremas saja wajah berminyaknya. Sekeras apa pun tangis mengudara, tetap saja tak pernah ada ibu peri yang mau meminjamkan sepatu kaca untuknya.
            “Dasar manusia kurap!” ia menendang sebuah buah melon yang tergeletak di atas tanah. Harusnya melon itu besok dipanen, tapi ia tak mau memanennya. Ia pikir melon itu berguna untuk disihir jadi kereta kencana. Biarkan saja jadi busuk, toh ibu peri bisa melakukan segalanya.
            Lantai dingin berselimut salju pun mulai ia rasakan menusuk pembuluh darah kaki-nya. Kaki yang pucat bertelanjang, tanpa sepasang sepatu. Tubuhnya mendadak seakan terkena mantra sihir, seluruh jengkal tubuhnya berkilau bak permata. Lalu tiba-tiba saja salah satu melon di kebunnya mengembang dan meledak berkilauan menjadi kereta kencana.
            Rupanya peri salju datang dan menyihir segalanya. Minyak jelantah yang dulunya merapal wajah wanita itu, kini hilang dan rupanya beraura serupa bintang-bintang.
            Peri berukuran kecil itu pun terbang ke sana-kemari bagai lalat yang menggoda. Wanita itu merekahkan senyumnya bak mawar yang bermekaran di musim semi. Semuanya sudah berubah, wanita itu berbalut gaun biru nan mewah, bertaburan permata. Hingga jika kau pandangi ia dari ratusan meter, matamu kan terkena siluetnya. Silau, hanya pancaran wajahnya yang nampak bisa kau pandangi.
            Ia melangkah, namun tetap saja kakinya merasa ditusuk-tusuk kristal salju. Kening wanita itu mengernyit, kenapa ia masih bertelanjang kaki?
            “Ibu Peri, aku ingin sepasang sepatu,” pintanya sembari menjinjit gaun birunya yang terjuntai hingga lantai.
            Peri kecil itu tertawa melengking hingga suaranya terpantul ke mana-mana. Wanita itu cukup merengutkan wajah, ngeri dengan suara yang lebih mirip hantu.
            “Sayangnya, aku tidak bisa membuatkan sepatu itu untukmu,” katanya sambil mengitari wanita itu dengan menggunakan kedua sayapnya yang tipis sekali.
            “Kenapa? Bukankah Cinderella harus memakai sepatu kaca?”
            Peri itu tertawa kembali. Kemudian terbang lebih dekat dan hinggap di pangkal hidung wanita itu. “Memangnya untuk apa sepatu kaca?”
            “Bukan Cinderella namanya kalau tidak punya sepatu kaca, Peri,” jawab wanita itu. Ia tampak merengek dan memohon pengertian.
            “Pergilah! Kau akan tahu jawabannya nanti!” Ibu Peri lekas mendorongnya memasuki kereta kencana berlapis emas dan mutiara.
            “Ta—tapi...,” suaranya tak tersampaikan saat keretanya melesat melindasi jalanan yang sepi.
            “Jangan lupa! Kalau kau tidak mau ketahuan, kau harus pulang saat jam dua belas tepat!!” teriak Ibu Peri.

***

Sepanjang jalanan yang ditumbuhi pohon-pohon ek, maple dan ginkgo.... sepanjang itu pula jalanan penuh dengan hamparan dedaunan musim gugur. Kuning keemasan. Bak permadani yang sudah menyambut kereta kencana itu sudah sejak lama.
            Naza yang berubah menjadi Cinderella pun senangnya tak terperi, namun ada kegelisahan dalam hati. Sepasang matanya yang lancip seperti buah zaitun terus memandangi kedua kaki-nya yang telanjang. tak bersepatu kaca. Meskipun gaun bertabur permata, tapi ia tak bisa percaya diri jika harus melangkah dengan kaki yang kosong.
            Kecemasan pun semakin meradang saat denting lonceng pesta kerajaan mulai terdengar. Jarak semakin dekat. Bayang kerucut atap kerajaan terlihat mencakar ke langit-langit. Bendera-bendera berkibaran menghibur bintang yang bertaburan. Keringat Naza semakin mendesak pori-pori. Ia tak pernah setegang ini dalam hidupnya.
            “Bukakan pintunya!” teriak sang kusir setelah kereta hampir mendekati gerbang raksasa.
            Gerbang itu terbuka dengan gagahnya. Jalanan terbentang kembali. Di ujung jalan terdapat tangga berlapis karpet merah. Wanita dalam kereta dipersilakan melangkah keluar, tapi ia tercekat sesaat—terus memandangi kakinya yang pucat.
            Ia memicing—mengerahkan keberanian. Naza merasa aneh, baru kali ini ia harus bertelanjang kaki ke pesta dansa. Akhirnya ia mendorong pintu utama, semua tamu undangan kini menjadikannya sebagai sumbu perhatian. Wajah yang berubah menjadi seperti kilau permata itu nyaris seperti ditaburi bunga orchad, semburat merah-merona.
            Ia terus berjalan, tanpa semua orang sadari kakinya bertelanjang. Mereka terus menelanjangi sisi terbaik dari Naza, yaitu wajahnya yang bersinar seperti supernova. Lalu bisik-bisik kekaguman bersahut-sahutan dari mulut mereka. Wow! Khayalan Naza sunggu luar biasa!
            Dari titik singgasana kerajaan seorang pangeran berambut pirang dengan pakaian merah-nya tampak gagah menuju satu-satunya wanita yang memikat hati di pesta dansa. Sepasang matanya yang tegas terlihat berdebur hinggap ke arah Naza. Senyumnya yang selebar dunia ini tak berkurang barang satu senti pun. Ia nyaris gila dan buta akan sekeliling dunia di sekitarnya.
            Sang pangeran menekuk sedikit lutut belakangnya lalu menawarkan tangan untuk Naza. Wanita itu merengkuh tangan pangeran dengan lemah gemulai, pangeran mengecup punggung tangan Naza sembari terus mengarahkan belaian matanya pada wanita ajnabi yang baru pertama kali dilihatnya.
            “Maukah kau berdansa denganku?” tawarnya seakan selurik kalimat itu lebih indah daripada nyanyian merdu di telinga Naza.
            Semua mata terus memandangi mereka berdua. Ada yang menatap perih, mengilat-marah, cemburu dan data-datar saja. Naza lupa akan kakinya yang kini bertelanjang menginjak lantai mewah pesta dansa. Ia bergerak gemulai, tangan saling ditautkan dengan Pangeran. Pria itu tersenyum terbuai oleh sihir kecantikan sang peri. Tak peduli, siapa pun wanita yang kini beputar-berdansa dengannya, hari ini ia tersihir oleh pendaran kedua matanya.
            “Siapa kau?” keduamatanya yang tegas terus melekat kuat menyelami apa yang ada di balik tatapan Naza.
            Bibir ranum Naza sedikit mekar saat ia takjub menatap kedua manik mata sang pangeran. Pertanyaan itu membuat Naza berpikir keras, apa yang harus dijawabnya. Jujur atau bohong? Seandainya Pengeran tahu tentang dirinya, sudikah ia tetap menautkan tangannya dengan Naza? Perlahan Naza merenggangkan jaraknya dengan Pangeran.
            “Seorang wanita yang berharap kau menatapku,” tandas Naza menyisakan kesan ambigu.
            “Aku sudah menatapmu. Jadi siapa namamu? Darimana kau?” lanjut Pangeran memberondong rasa penasarannya.
            Suasana pesta dansa semakin riuh. Semua orang mulai berpasang-pasang seiring irama musik berubah menjadi penuh gairah tidak semelow saat Pangeran dan Naza berdansa. Di sudut ruangan terdengar dentingan gelas yang saling disinggungkan—tanda kebersamaan setiap bangwasan. Tak lupa suara gelak tawa terdengar bersahut-sahutan mendengar salah satu dari mereka berlelucon. Hanya dua manusia di tengah lantai dansa yang saling menatap, diam seribu bahasa. Menebak pikiran masing-masing dan sang pangeran terus bertanya dalam benak. Siapakah gerangan?
            “Aku....”
            Teng! Teng! Teng!
            Raungan lonceng jam memasuki tengah malam membuat segalanya tercekat, semua mendengar bunyi itu. Termasuk dengan Naza, gadis itu gelisah dan jantung berdegup kencang. Sebuah dentuman yang kan menelanjangi siapa ia sebenarnya. Menguak seluruh kepalsuan yang menjadi topengnya. Naza menatap pangeran sesaat dan berlari—berlomba bersama waktu.
            Baru kali ini merasa sangat takut terhadap waktu yang terus berjalan. Seolah setiap detik itu siap membinasakan seluruh mimpinya jika sedetik saja terlambat. Naza terus berlari, tak peduli Pangeran terus berteriak-teriak dan memintanya berhenti. Behenti pada waktu yang teramat mengerikan baginya. Jika ia berhenti berlari, dan membiarkan waktu menjawabnya... ia takut segalanya tak sesuai dengan harapan. Ia tak percaya dengan keadaan dirinya dan pada hati sang pangeran.
            Saat pelariannya dari Pangeran, Naza harus melandai puluhan anak tangga yang sebelumnya terlihat mewah saat ia pertama kali masuk ke istana. Ia sekarang tak bisa menikmati setiap jalan yang dilaluinya meskipun berlapis permadani, ia risau karena waktu untuknya semakin sempit dan terus mendesaknya untuk berlari dan sembunyi.
            “Tutup gerbangnya!!” teriak sang pangeran kejauhan.
            Pori-pori kulit Naza terus diluapi keringat yang mulai melindapi pelipisnya. Dada yang berdebar sesak. Ia mencari-cari kereta kencana di pelataran istana, kedua pengawalnya dan seorang kusir yang telah mengantarkannya. Tapi... mereka tidak ada! Mereka tidak ada! Naza sadar ia telah kehabisan waktu,  segalanya telah terenggut waktu.
            Gaun birunya yang mewah nun elegan kini berubah kembali menjadi gaun pink yang compang-camping. Wajahnya yang berseri seperti permata, kembali ke asal—mengilat dihinggapi minyak. Rambutnya pun tak sehalus sutra lagi, kusut seperti benang. Ia bukan siapa-siapa lagi.
            “Di mana dia??” Pangeran sudah tiba di pelataran istana. Sepasang matanya mencari-cari wanita cantik nun megah yang baru saja merenggut hatinya. Tidak ada. Tidak ada siapa-siapa, hanya ada seorang wanita berpakaian kumal yang berdiri di depannya.
            Naza tertunduk malu. Ini jauh lebih menegangkan dari pada harus berhadapan dengan seorang algojo. Pangeran lalu memicingkan mata, menerawang siapa wanita itu. Wanita itu terlihat sama sekali tak pantas berdiri di atas megahnya tanah istana.
            “Siapa kau?” tanya Pangeran terdengar angkuh.
            Nada suaranya terdengar asing—terdengar suram dan mengerikan daripada saat Pangeran bertanya saat ia masih dikelilingi sihir ibu peri.
            “Ak—aku...,” lidah Naza tercekat. Ia tak mampu menandaskan ucapannya dan mengakui siapa ia sebenarnya.
            Seandainya ia memiliki sepatu kaca, pasti ia dengan mudah akan membuat Pangeran percaya bahwa ia adalah wanita yang telah berdansa dengannya. Tapi ia tak seberuntung itu. Tak secuil pun sisa-sisa sihir itu tertinggal padanya. Tak ada.
            “Katakan! Atau... kau... ini penyusup, hah?!” desis Pangeran. Nada suaranya penuh dengan kecurigaan. Dunia ini terlalu semu untuk mempercayai dan terlena pada setaip orang. Apalagi ia seorang Pangeran, bisa saja wanita compang-camping ini hanya topeng belaka dan tenyata seorang utusan dari musuhnya.
            “Ti—tidak... bukan itu, Pangeran. Sa—saya bukan penyusup. Su-sungguh,” sanggah Naza. Keduamatanya nanar, entah dengan cara seperti apa ia harus mengatakan siapa ia sebenarnya. Padahal waktu telah memberikannya kesempatan untuk mengatakan kejujuran pada Pangeran saat ia masih bermandikan kemewahan. Tapi ia menyia-nyiakan waktu itu, ia tak jujur secepatnya.
            Dan... jika sekarang Naza jujur, apa ia akan percaya?
            “Lalu kau siapa?” tatapan Pangeran mengintimidasi.
            “Sa-saya... wanita yang tadi berdansa denganmu, Yang Mulia,” tukas Naza. Ekor matanya mulai dijatuhi embun-embun hangat. Ia harap Pangeran mampu mengenalinya meskipun wujudnya jauh dari kata cantik nun anggun.
            Mata Pangeran seakan melonjak, dan tiba-tiba suaranya tergelak memecah keheningan malam. Lelucon! Ini benar-benar lelucon! Kemudian ia menatap nyinyir Naza sembari tersenyum sinis, “jangan berbual dan jangan bermimpi! Kau kira aku ini buta?!!” Suaranya penuh dengan penekanan.
            Jantung Naza seakan tergodam, remuk-redam! Pangeran tak mengenali ataupun mempercayainya. Ia menutup mulut, tak percaya. Bagaimana bisa? Bukankah Pangeran terlihat jatuh hati padanya saat berdansa tadi. Sekarang dada Naza terasa termega-megap, ia merasa sesak mengetahui kenyataan ini.
            “Tangkap dia!!!”
            “Yang Mulia, saya... Naza, wanita yang berdansa dengan Anda. Kumohon, percayalah!” teriak Naza, saat tubuhnya mulai diseret paksa oleh para pengawal kerajaan.
            “Penipu,” desis Pangeran sembari berbalik meninggalkan Naza.
            Lalu tatapan macam apa tadi? Apa itu hanya tatapan ilusi, yang penuh dengan kebohongan, terlena dengan kepalsuan yang Naza usung di depan matanya. Menyembunyikan hal terjujur dari dirinya. Pangeran tak pernah benar-benar jatuh cinta dan percaya pada pandangan pertama. Ia hanya percaya akan keindahan fatamorgana yang dlihatnya tapi menghilang sekejap mata. Fatamorgana yang sesungguhnya adalah Naza yang tercampakan karena tak menyisakan jejak sedikit pun. Memang siapa yang mau percaya dengan dongeng Cinderella?
            Naza meringkuk diri dalam jeruji besi, di atas jerami seperti binatang ternak yang siap dikuliti. Meniti airmata yang telus menjala di pipi—menyesali waktu yang digunakan dengan kepalsuan. Hanya kejujuran yang kan memancing terkasih kan datang kepadanya.

            

Share '[Cerpen] Cinderella Tanpa Sepatu Kaca' On ...

Ditulis oleh: Alfy Maghfira - Selasa, 29 Desember 2015

Belum ada komentar untuk "[Cerpen] Cinderella Tanpa Sepatu Kaca"

Posting Komentar